Perkasanya Jaringan Khofifah: dari Muslimat NU hingga Kasus Hibah
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Jum, 12 Des 2025
- comment 0 komentar

Cagub Jatim Khofifah Indar parawansa saat menyapa para pengunjung sholawat (foto by : Achmad Adi)
DIAGRAMKOTA.COM – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa bukan sekadar pejabat daerah, ia juga menempati posisi strategis dalam organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia. Pada Februari 2025, Khofifah terpilih kembali sebagai Ketua Umum Dewan Pembina Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU) periode 2025–2030.
Kedudukan ini membuka akses politik dan sosial yang luas: Muslimat NU dengan basis massa perempuan, santri, dan komunitas di seluruh Jawa Timur dan se-Indonesia menjadi jaring dukungan struktural.
Di internal Muslimat NU sendiri, pemilihan didasarkan pada “musyawarah tim sembilan perwakilan zonal” yang mencerminkan legitimasi kolektif atas pemimpin pusat.
Posisi tersebut memberi Khofifah legitimasi keagamaan dan sosial yang besar sebuah “pelindung sosial-kultural” yang mampu menyerap guncangan reputasi. Karena itu, ketika namanya muncul dalam pusaran dugaan kasus dana hibah, kekuatan jaringan ini menjadi tameng politik dan kultural yang sulit tergoyahkan.
Selain itu, secara elektoral, baik hasil pemilihan ataupun elektabilitas tetap menunjukkan bahwa Khofifah (bersama pasangan politiknya) memiliki daya tarik — menandakan bahwa dukungan masyarakat tidak semata bersandar pada skandal, melainkan pada reputasi dan struktur dukungan yang mapan.
Dengan kombinasi: jabatan resmi, peran di organisasi massa berskala besar, dan basis dukungan luas — Khofifah memegang posisi yang sangat kuat secara sosial, politik, dan budaya di Jawa Timur dan di kalangan NU.
Kasus dana hibah Pemprov Jatim & status hukum terkini
Pada tahun 2025, KPK menetapkan 21 tersangka dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2019–2022.
Dalam pengembangan penyidikan, sejumlah anggota DPRD serta pihak swasta dan penyelenggara negara ditetapkan sebagai tersangka.
Nama Khofifah ikut disebut, namun statusnya saat ini bukan tersangka melainkan saksi. Ia dipanggil dan diperiksa oleh KPK untuk memberi keterangan terkait alur administrasi dan hibah.
Pemeriksaan ini berlangsung pada 10 Juli 2025. Berdasar pengamatan di lapangan, Khofifah tiba di Polda Jatim sekitar pukul 10.00 WIB dan menjalani pemeriksaan di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jatim.
Durasi pemeriksaan dilaporkan mencapai 8,5 jam, kalua benar dilakukan secara benar, menunjukkan bahwa penyidik menggali informasi secara intensif dari sang Gubernur.
Menurut KPK, pemilihan lokasi pemeriksaan di Surabaya (Polda Jatim) dilakukan atas pertimbangan operasional dan efisiensi, bukan bentuk “perlakuan khusus”.
KPK menyatakan bahwa penyidik kala itu sudah melakukan rangkaian pemeriksaan saksi, pemeriksaan lokasi, pengumpulan bukti, dan memutuskan untuk melanjutkan pemeriksaan terhadap Khofifah di provinsi, bukan pusat.
Kritik dan sorotan atas prosedur pemeriksaan: Mengapa Polda Jatim, bukan Jakarta?
Meskipun KPK menyatakan bahwa tidak ada yang istimewa dari lokasi pemeriksaan, keputusan ini tetap menimbulkan sejumlah pertanyaan penting, terutama dari perspektif transparansi, independensi, dan persepsi publik.
Standar berbeda antarkasus / antarsaksi: Beberapa tersangka dan saksi dalam kasus yang sama diperiksa di kantor pusat KPK (Gedung Merah Putih), termasuk saksi dari kalangan swasta atau pejabat menengah. Namun untuk Khofifah, pejabat tinggi provinsi, pemeriksaannya dilakukan di institusi kepolisian daerah. Ini memberi kesan inkonsistensi prosedural, yang membuka ruang bagi spekulasi “perlakuan khusus.”
Risiko persepsi konflik kepentingan lokal: Pemeriksaan di markas polisi daerah, yang terhubung dengan struktur keamanan local, bisa memunculkan asumsi bahwa penyidikan dilakukan dalam lingkungan kekuasaan lokal: pejabat terperiksa, aparat lokal, media lokal berada dalam satu ekosistem. Dalam kasus sensitif seperti dugaan korupsi dana publik, hal ini bisa dianggap mengurangi independensi penyidikan.
Efisiensi sebagai alasan, tapi transparansi tersisa buram: Meskipun KPK menyebut efisiensi sebagai alasan, publik berhak mendapat penjelasan detail: mengapa penyidik tidak memindahkan saksi ke pusat, bagaimana pengamanan, apakah ada saksi pendamping internasional independen, apakah ada protokol dokumentasi public, semua penting untuk menjaga kredibilitas proses.
Perlakuan berbeda melawan kesetaraan hukum: Bila pejabat tinggi diperiksa di provinsi, sementara saksi/tersangka lain harus ke pusat, bisa menimbulkan kesan bahwa jabatan memberi privilese. Ini berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, terutama dalam kasus korupsi skala besar.
Ringkasnya, meskipun tidak secara otomatis menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan, keputusan lokasi pemeriksaan ini tetap membuka ruang kritik terhadap prosedur hukumnya — terutama soal kejelasan, konsistensi, dan persepsi keadilan.
Kenapa Khofifah tetap “kuat”, meskipun tertaut dugaan korupsi: peran struktur sosial-politik dan legitimasi
Satu hal yang menarik, walaupun namanya disebut dalam pusaran kasus besar, Khofifah tidak serta-merta kehilangan pengaruh, bahkan di sejumlah basis dukungan. Ada beberapa faktor struktural dan sosial yang menjelaskan hal ini:
1. Basis organisasi massa (Muslimat NU) yang besar
— Kepemimpinannya di Muslimat NU membuatnya memiliki jaringan sosial yang luas dari kalangan perempuan, santri, dan struktur komunitas, bukan hanya di Jawa Timur, tetapi nasional.
2. Legitimasi politik dan citra publik
— Dengan latar belakang jabatan formal, serta perannya dalam pemerintahan provinsi, Khofifah memiliki legitimasi yang sulit digoyahkan hanya dengan tuduhan sementara. Banyak masyarakat melihat bahwa pemimpin publik pantas diberi ruang untuk diperiksa, namun tidak langsung dicap “bersalah.”
3. Struktur politik lokal dan pragmatisme pemilih
— Elektabilitas dan penerimaan publik terhadap kepemimpinan Khofifah (dan relasi politiknya) menunjukkan bahwa banyak pemilih memprioritaskan stabilitas dan kontinuitas, meskipun ada potensi tuduhan. Hal ini menandakan bahwa reputasi jangka panjang dan jaringan dukungan lebih dominan daripada isu sesaat.
4. Status hukum yang belum final
— Karena status Khofifah “saksi”, bukan tersangka, maka dari sudut hukum dan politik belum ada penetapan bersalah. Ini memberi ruang bagi narasi pembelaan, klarifikasi, dan dukungan dari basis sosial maupun institusional.
Dengan demikian, dugaan kasus dana hibah — walaupun berat — belum menjerat secara politik maupun hukum; dan jaringan sosial-politik Khofifah serta legitimasi strukturalnya memberi dia bantalan kuat terhadap guncangan reputasi.
Mengapa kasus ini penting, dan apa yang dipertaruhkan?
Kasus dugaan korupsi dana hibah di Jawa Timur bukan sekadar masalah administratif: anggaran publik yang melibatkan masyarakat kecil (pokmas), birokrasi provinsi, dan distribusi sumber daya public, erat kaitannya dengan keadilan sosial, transparansi pemerintahan, dan kepercayaan rakyat terhadap institusi.
Jika penegakan hukum terhadap pejabat tinggi seperti Khofifah dilakukan setengah-hati, misalnya dengan prosedur yang tidak konsisten atau persepsi “istimewa” — maka pesan yang diterima publik adalah bahwa elite tetap memiliki pelindung, dan korupsi struktural tetap berpeluang lolos.
Sebaliknya, jika penyidikan dilanjutkan dengan standar tinggi, dokumentasi terbuka, pemeriksaan transparan, kesetaraan prosedur, maka kasus ini bisa menjadi preseden bagi reformasi akuntabilitas di tingkat daerah dan pusat.
Status terkini
Per 3 Oktober 2025, 21 orang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dana hibah Pokmas Jatim (2019–2022). Nama Khofifah belum termasuk dalam daftar tersebut.
KPK menyatakan bahwa proses penyidikan masih berlangsung, termasuk verifikasi aliran dana ke penerima, audit dokumen, dan pemeriksaan saksi/terlapor baru.
Publik, akademisi, dan penggiat antikorupsi perlu memonitor jalannya proses: apakah penyidikan tetap adil dan transparan, apakah prosedur sama untuk semua, apakah ada perlakuan khusus bagi pejabat — karena hasilnya akan sangat menentukan kredibilitas penegakan hukum dan demokrasi di tingkat daerah.
Penilaian Redaksi
Kasus dana hibah di Jawa Timur menunjukkan bahwa dalam politik & pemerintahan, kekuatan jaringan sosial, legitimasi kelembagaan, dan dukungan massa bisa memberi perlindungan besar terhadap elite, bahkan ketika ada tuduhan serius terhadap pengelolaan anggaran publik.
Keputusan pemeriksaan terhadap Khofifah di Polda Jatim, bukan markas pusat antikorupsi, memperlihatkan bahwa prosedur hukum bisa saja mengikuti logika operasional atau pragmatisme, tetapi hal itu berpotensi melemahkan persepsi independensi dan keadilan.
Sejauh ini, Khofifah tetap berada dalam posisi relatif aman: statusnya saksi, bukan tersangka; jaringan sosial-politiknya kuat; dan basis dukungannya luas. Namun, masa depan reputasinya dan kredibilitas penegakan hukum di Jatim serta nasional tetap dipertaruhkan — tergantung pada bagaimana proses penyidikan dan penegakan hukum ini dijalankan ke depan.
Penulis: Nawi




