DIAGRAMKOTA.COM – Jalan Mliwis di kawasan Kota Lama Surabaya tidak pernah ada sepinya. Mulai sore sekitar pukul 15.00, pengunjung mulai berdatangan, seolah hendak melihat sebuah tontonan akbar. Tiap hari. Padahal tontonannya adalah suasana vintage dengan tembok tembok yang rustik.
Kedatangan pengunjung ini disambut gembira oleh warga setempat. Mereka pun mulai memahami arti penting kawasan dan rumah rumah yang mereka huni. Karenanya mereka menangkap peluang dari banyaknya pengunjung yang datang.
Sebagian warga menyambutnya dengan sajian kuliner. Mereka memang sudah berdagang kuliner sebelum dibukanya konsep Kota Lama Surabaya. Ada juga pedagang kuliner baru, yang tumbuh setelah pembukaan Kota Lama.
Ada pedagang pendatang, seperti penjual buket bunga segar, ada penjual es krim, ada penjual es teh dan jasuke, ada penjual sosis bakar dan goreng dan masih ada lagi yang berjualan es potong.
Jalan Mliwis menjadi jalan yang sangat sibuk dengan lalu lintas roda pariwisata. Ada mobil listrik model klasik, sepeda motor, sepeda angin, becak hingga mobil umum yang masih menggelinding di antara sessaknya pengunjung. Belum lagi pejalan kaki yang menyemut.
Di antara kesibukan itu, ada kesibukan “genk motor” yang sering kali hingga larut malam dan tentu saja sering mengganggu tidur warga setempat.
Muyi, warga setempat yang tinggal di jalan Mliwis 5, menyatakan bahwa pengunjung yang begadang hingga larut malam dengan diiringi dengan membleyer mbleyer sepeda motor yang bunyinya memekakkan telinga. Hal ini sempat dikeluhkan kepada A. Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, yang Kamis malam (11/7/24) mengunjungi jalan Mliwis. Thony memang sengaja datang untuk melihat Kota Lama dan geliat sosial budaya dan ekonomi warga setempat.
Salah satu warga lainnya adalah Poliono, yang tinggal di jalan Mliwis 2. Poliono baru saja membuka dagangan makanan dan minuman ringan di rumahnya. Selama ini rumahnya tutup dan seolah tak berpenghuni karena pada tembok depan rumah tertempel beberapa stiker yang mengabarkan rumah dijual. Menurut Poliono, sambil menunggu rumah terjual, ia dan istrinya turut membuka rumah untuk berjualan layaknya warga lain dalam menyambut kota lama.
Thony juga sempat mengunjungi rumah Poliono dan melihat lihat seisi rumah. Sebuah rumah kuno yang masih lengkap dengan seperangkat isi rumah termasuk foto foto keluarga. Poliono adalah generasi ke empat di rumah ini.
“Ini foto bapak saya, lha itu foto kakek saya dan di atasnya adalah buyut. Dia datang langsung dari Tiongkok. Lha ini anak saya, yang terhitung generasi ke lima”, jelas Poliono mengenai ketuaan rumahnya. Rumah lama, yang dia tempati bersama istri dan anak, telah dihuni oleh 5 generasi.
Karuan saja interior dan seisinya tampak tua. Termasuk foto foto yang menghiasi dinding. Salah satunya adalah foto Presiden Pertama Indonesia, Soekarno dan keluarga.
Poliono asli warga setempat. Ia dilahirkan di jalan Mliwis 2 ini lima puluh tahun lalu. Sebagai ahli waris rumah ini, ia berencana menjual rumahnya senilai 2,5 M. Ia memang menyayangkan rumah itu dijual, tapi karena kebutuhan, maka ia merelakan aset peninggalan orang tua, kakek hingga buyutnya itu.
Ia sempat titip pesan kepada Thony bahwa di kawasan jalan Mliwis ini perlu ada pengawasan keamanan dan ketertiban agar tidak menjadi tempat resmi yang liar. Yaitu tempat yang telah ditata oleh Pemerintah Kota tetapi menjadi ajang kontestasi “genk motor” dengan knalpot bodong yang memekakkan gendang telinga di malam hari.
“Itu terjadi setiap hari. Setiap malam. Belum lagi mereka membuang sampah di lahan tanaman saya. Waduh, saya memunguti sampah bisa dapat lima kresek”, tambah Poliono kepada Thony.
Sementara itu Thony menampung masukan warga atas fakta yang terjadi di lingkungan mereka. Semoga Kota Lama Surabaya akan menjadi arena keluarga yang nyaman dan aman. (dk/nanang)