Oleh: Mahsus Zaenal Arif.
DIAGRAMKOTA.COM – Munculnya fenomena warga masyarakat yang enggan ikut memberikan suara dalam Pemilu dan Pilkada kecuali ada yang “nyangoni”, memberi uang jalan, atau ada yang ninggali rejeki. Tanpa sangu (uang jalan), banyak warga memilih tinggal di rumah atau ke sawah dari pada ikut memberikan suara dalam Pilkada.
Mereka cenderung enggan terlibat partisipasi urusan politik. Maka terjadilah fenomena gerakan “jor joran nyangoni dan ninggali warga”, yang dilakukan para aktivis tim sukses paslon masing-masing di tingkat desa.
Disitulah pentingnya amunisi dana yang harus dimiliki partai dan tim sukses paslon. Jika calon memiliki kekuatan politik yang berlimpah dana, maka memiliki kesempatan lebih banyak mendulang suara dari pada yang gak punya dana.
Nyangoni itu menjadi tradisi “kegotong royongan” warga dalam aktivitas sosial politik di desa-desa. Nyangoni menjadi tanda perhatian para elit di atas ke rakyat kecil yang penyalurannya dilakukan aktivis aktivis partai di akar rumput. Aktivis-aktivis politik di desa itulah yang jadi unjung tombak mencari suara dari masyarakat desa yang makin pragmatis.
Maka siapa yang menang dalam Pileg, Pilpres dan Pilkada, sering terjadi bukan semata mata karena faktor personal baik tidaknya figur calon yang berkontestasi. Bukan pula karena faktor dukungan partai identifikasi. Kemenangan politik calon dalam pemilihan itu banyak variabel yang mempengaruhi.
Selain faktor personal figur sosok pemimpinnya, ada faktor komunikasi, faktor ideologi dan histori. Nah sekarang ditambah faktor dana amunisi untuk nyangoni agar warga yg mau ke TPS lalu memilih paslon yang menyeponsori.
Pengawasan, penegakkan hukum yang harusnya menjaga agar pemilihan berjalan jujur dan adil, nampaknya makin jauh dari kenyataan. Tak sedikit aparat pengawas pemilu dan oknum penegak hukum juga berperilaku tidak netral atau membiarkan praktek praktek gotong royong uang sangu dan ninggali tetap terjadi.
Bahkan munculnya manipulasi suarapun juga berpotensi. Hanya di wilayah yang warganya memiliki kesadaran politik tinggi, hal demikian bisa terhindari. Terutama di Perkotaan seperti di DKI dan kota kota besar negeri ini.
Itulah demokrasi yang sekarang sedang terjadi, terutama di akar rumput di beberapa daerah pedesaan negeri ini. Maka tidak heran gara gara demokrasi politik model begini menyebabkan biaya kontestasi politik menjadi berbiaya tinggi.
Hanya mereka yang punya dana besar atau punya akses ke sumber sumber keuangan yang berani ikut kontestasi hingga bisa berhasil dapat banyak dukungan partai dan dukungan suara dari para pemilih.
Sepertinya tidak usah terlalu bangga dengan kemenangan politik dalam demokrasi transaksi yang terjadi seperti sekarang ini. Bagi saya sistem demokrasi kita ini harus terus dikoreksi dan diperbaiki.
Agar yang terpilih menjadi pemimpin itu betul betul karena berkualitas tinggi, bukan yang jadi pemimpin karena didukung kekuatan dana besar sebagai energi dan amunisi untuk membeli suara warga negeri ini. Apakah di lingkungan desa Anda juga ada tanda tanda terjadi seperti ini? (dk/mahsus)