Kader Wanita Golkar-Gerindra Diam dalam Skandal SMA Hantu: DPRD Disoroti Publik
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sen, 15 Sep 2025
- comment 0 komentar

Skandal SMA Hantu Siger dan Kebisuan Wakil Rakyat
DIAGRAMKOTA.COM – Kasus skandal “SMA Hantu” Siger di Bandar Lampung kembali memicu perhatian publik. Sekolah yang tidak diakui oleh Dinas Pendidikan Provinsi Lampung ini justru menerima aliran dana dari APBD Kota Bandar Lampung, meskipun statusnya ilegal dan belum terdaftar dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai tata kelola pendidikan di daerah dan keseriusan pemerintah dalam menjalankan aturan.
Di tengah sorotan tersebut, dua anggota DPRD Kota Bandar Lampung dari Komisi 4, yaitu Hetty Friskatati dari Partai Golkar dan Mayang Suri Djausal dari Partai Gerindra, memilih untuk diam. Mereka tidak memberikan pernyataan apapun kepada jurnalis terkait pengaliran dana ke sekolah ilegal tersebut. Padahal, posisi mereka di lembaga legislatif sangat strategis dalam memberikan pengawasan terhadap kebijakan pendidikan di daerah.
Tidak memberikan tanggapan atas isu ini menimbulkan banyak tanda tanya. Apakah sikap diam mereka merupakan bentuk pembiaran atau ada hal lain yang ingin ditutupi? Mayang Suri, yang baru saja menjabat sebagai Ketua Fraksi Gerindra, juga memiliki latar belakang yang kuat. Ia adalah adik dari Gubernur Lampung sekaligus Ketua DPD Gerindra Lampung, Rahmat Mirzani Djausal. Dengan latar belakang ini, publik berharap ia akan lebih berani bersikap, namun fakta menunjukkan bahwa ia tetap bungkam seperti Hetty.
SMA Swasta Siger yang kini disebut “SMA Hantu” telah melanggar sedikitnya sembilan peraturan perundang-undangan. Mulai dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional hingga Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2021. Meski demikian, sekolah ini tetap mendapat dana APBD Kota Bandar Lampung, sementara ratusan SMA/SMK swasta lainnya di Lampung justru kesulitan karena tidak mendapatkan dukungan anggaran.
Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, pada Jumat, 5 September 2025, menyatakan bahwa tahun ini pemerintah provinsi hanya akan memberikan dana Bosda kepada sekolah negeri. Tahun depan pun belum ada kepastian bantuan operasional untuk SMA/SMK swasta. Ironisnya, SMA ilegal seperti Siger justru diberi akses mudah untuk mendapatkan dana APBD.
Praktisi pendidikan M. Arief Mulyadin mengkritik kebijakan ini sebagai bentuk ketidakadilan bagi ratusan SMA/SMK swasta yang berjuang tanpa dukungan anggaran. Di sisi lain, DPRD yang seharusnya menjadi benteng pengawasan justru melemah. Bungkamnya kader wanita Golkar dan Gerindra menegaskan adanya krisis transparansi di lembaga legislatif.
Lebih jauh, skandal ini bukan hanya soal satu sekolah ilegal, melainkan cerminan buruknya tata kelola pendidikan di daerah. Publik melihat adanya ketidakseriusan Pemkot dan DPRD dalam menegakkan aturan, sehingga memberi peluang bagi praktik politik transaksional yang merugikan masyarakat. Jika hal ini dibiarkan, sekolah-sekolah swasta resmi yang patuh aturan akan semakin terpinggirkan, sementara anggaran negara tersedot untuk lembaga ilegal yang berdiri di atas pelanggaran hukum.
Akhirnya, masyarakatlah yang harus menanggung dampak dari kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan pendidikan. Diamnya dua kader wanita di kursi legislatif ini menjadi simbol lemahnya fungsi kontrol DPRD dan menambah daftar panjang pertanyaan publik: untuk siapa sebenarnya para wakil rakyat bekerja, untuk kepentingan rakyat atau kepentingan segelintir elite.





Saat ini belum ada komentar