DIAGRAMKOTA.COM – Wacana Pemerintah Kota Surabaya untuk memberlakukan “sanksi sosial” kepada pasien tuberkulosis (TBC) yang tidak taat berobat rutin, dengan cara membekukan NIK dan BPJS, sungguh sebuah ironi kebijakan publik yang terbungkus rapi atas nama “kesehatan bersama”.
Alih-alih mengedukasi dan membina warga, Pemkot tampak lebih memilih menjadi algojo administratif: memblokir akses identitas dan layanan kesehatan dasar hanya karena rakyatnya tidak disiplin berobat. Padahal, permasalahan TBC bukan sesederhana orang malas datang ke puskesmas, melainkan juga soal kemiskinan, stigma sosial, tekanan ekonomi, serta kurangnya pemahaman masyarakat terhadap penyakit ini.
Apakah pemkot lupa bahwa NIK adalah hak konstitusional setiap warga negara, bukan hadiah yang bisa dibekukan semena-mena? Bahwa BPJS bukan fasilitas bonus, tetapi bentuk jaminan sosial negara yang tidak bisa dipegang dan dilepas seperti kartu parkir?
Yang lebih mencengangkan, tidak ada satu pun pasal dalam Perwali nomor 117/2024 tersebut yang menyinggung tentang bantuan sosial atau perlindungan ekonomi bagi penderita TBC yang harus dibatasi aktifitasnya dan otomatis kurang maksimal dalam mencari nafkah. Jadi, setelah orang miskin jatuh sakit, tidak berobat karena takut kehilangan pekerjaan atau penghasilan, solusinya justru: hilangkan identitas dan haknya?
Belum lagi cara komunikasi pemerintah yang lebih mirip gaya naming and shaming. Rumah pasien akan ditempeli stiker “Mangkir Pengobatan” — seolah-olah mereka ini kriminal, bukan manusia yang sedang berjuang menghadapi penyakit. Bukankah pendekatan seperti ini justru akan membuat masyarakat semakin takut untuk melapor atau berobat?
Dengan regulasi yang diputuskan sepihak, tanpa sosialisasi massif dan transparansi publik, pemerintah kota tampaknya sedang berambisi menjadi detektif kesehatan sekaligus hakim sosial, tetapi lupa menjadi pelayan rakyat. Ketika warga sakit, mereka butuh empati dan pendampingan, bukan ancaman.
Jika logika penonaktifan NIK ini diteruskan, maka jangan kaget bila kelak penderita penyakit menular takut ke puskesmas. Mereka tidak ingin berobat, karena dengan berobat bisa berarti hilangnya hak sebagai warga negara.
Selamat datang di kota yang ingin menghapus TBC, tapi malah menghapus warganya dari sistem.
Penulis : Nawi (Warga Surabaya)