Cak Yebe Desak Pemkot Surabaya Tindak Tegas Prostitusi Terselubung yang Masih Marak
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 4 jam yang lalu
- comment 0 komentar

(Ilustrasi)
DIAGRAMKOTA.COM — Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, menyuarakan kekhawatiran mendalam atas kembali maraknya praktik prostitusi terselubung di sejumlah titik di Kota Pahlawan. Menurutnya, situasi ini bukan hanya mencederai citra kota yang pernah sukses menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga mengancam moral generasi muda.
Yona, yang akrab disapa Cak Yebe, menegaskan bahwa pihaknya telah berkali-kali mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya, mulai dari Satpol PP hingga Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Rakyat (Bapemkesra), untuk bersikap lebih tegas dalam menindak tempat yang disinyalir digunakan sebagai lokasi praktik prostitusi.
“Kami sudah berulang kali menyampaikan agar Pemkot melalui Satpol PP serta jajaran lurah dan camat mengambil tindakan tegas jika ada tempat yang diduga menjadi lokasi prostitusi,” ujar Cak Yebe di Gedung DPRD Surabaya, Senin (17/11/2025).
Prostitusi Terselubung Masih Beroperasi Meski Sering Ditertibkan
Politisi Partai Gerindra ini menjelaskan bahwa praktik prostitusi di Surabaya kini bermetamorfosis, baik dalam bentuk konvensional maupun digital. Ia menyoroti beberapa titik yang masih beroperasi meski sudah berulang kali ditutup dan ditertibkan.
Salah satunya, kawasan Moroseneng, yang pada Oktober 2025 bahkan memerlukan patroli intensif Satpol PP Kecamatan Benowo mulai pukul 23.00 hingga 04.00 WIB setiap hari.
“Termasuk lokasi pijat tradisional berizin Pelayanan Kesehatan Tradisional serta penginapan yang diduga dimanfaatkan untuk layanan prostitusi berbasis online,” jelasnya.
Selain itu, kawasan eks Lokalisasi Dolly juga kembali disorot. Pada 16 November 2025, petugas mengamankan dua pekerja seks komersial (PSK) serta dua muncikari di sekitar Gang Dolly Putat Jaya Timur III B saat razia dilakukan.
“Masih banyak rumah kos dan wisma yang formalnya tertutup, tetapi nyatanya tetap digunakan sebagai lokasi prostitusi terselubung,” ujar Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya tersebut.
Regulasi Sudah Jelas, Penindakan Perlu Konsisten
Cak Yebe menegaskan, berbagai aturan hukum sudah jelas mengatur sanksi terhadap praktik prostitusi, baik yang dilakukan secara langsung maupun melalui sistem digital. Di antaranya:
- Pasal 296 KUHP – pidana hingga 1 tahun 4 bulan
- Pasal 506 KUHP – kurungan hingga 1 tahun
- UU ITE – ancaman hingga 6 tahun penjara atau denda Rp 1 miliar
- UU TPPO – penjara 3–15 tahun dan denda Rp 120–600 juta
“Maraknya prostitusi terselubung, baik konvensional maupun digital, jelas-jelas melanggar regulasi,” tegasnya.
Seruan untuk Semua Pihak: Surabaya Harus Bersih dari Prostitusi
Menurut Cak Yebe, kota besar seperti Surabaya memang memiliki kerentanan terhadap aktivitas prostitusi. Karena itu, diperlukan langkah berkelanjutan, tidak hanya dari pemerintah tetapi juga masyarakat.
“Kesadaran, komitmen, dan konsistensi semua pihak sangat penting untuk menciptakan Surabaya yang benar-benar bersih dari prostitusi. Tanpa itu, upaya yang dilakukan akan sia-sia,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa prostitusi membawa dampak besar terhadap karakter generasi muda serta reputasi kota. Penutupan Dolly pada era Wali Kota Tri Rismaharini disebutnya sebagai tonggak penting Surabaya dalam menjaga martabatnya.
“Dampak prostitusi itu besar. Ia merusak moral generasi muda dan mencoreng citra Surabaya. Penutupan Dolly dulu adalah prestasi yang menegaskan bahwa Surabaya mampu mengubah label sebagai kota wisata esek-esek terbesar di Indonesia,” pungkasnya. [@]




