Dugaan Skema Rekrutmen Siluman di PT PGS: Pekerja Ada, Status Hilang, Hukum Dipinggirkan
- account_circle Teguh Priyono
- calendar_month 4 menit yang lalu
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM — Di balik kilau industri jasa pemeliharaan fasilitas, sebuah praktik yang mencederai marwah ketenagakerjaan diduga berlangsung diam-diam. PT Permata Gemilang Suryatama (PGS), perusahaan penyedia teknisi gedung, dituding melakukan rekrutmen tenaga kerja tanpa dasar hukum yang sah. Para pekerja masuk, bekerja penuh, menerima instruksi, bahkan menerima slip gaji—namun perusahaan seperti pura-pura tak mengenali mereka secara legal.
Para teknisi itu ada, tetapi secara hukum seolah tak pernah dilahirkan.
Kisah ini bermula dari kesaksian pekerja yang mengungkap bahwa sejak awal mereka direkrut tanpa tanda tangan kontrak kerja. Tidak ada perjanjian hitam di atas putih, tidak ada kejelasan status, dan lebih parah—tidak ada perlindungan jaminan sosial. Semua dijalankan melalui percakapan lisan dan selembar draft yang tak pernah berubah menjadi dokumen resmi.
“Memang ada, tapi baru draf. Belum MoU,” pengakuan Ilham, bagian personalia perusahaan, dalam sebuah percakapan. Kalimat tersebut, yang terdengar sepele, justru menyeret situasi ini pada pertanyaan besar: apakah draf tanpa pengesahan ingin dijadikan payung legitimasi, atau sekadar kedok menutupi sistem rekrutmen gelap?
Seorang teknisi yang enggan disebut namanya menggambarkan kondisi di lapangan lebih gamblang. “Kami bekerja mengikuti SOP perusahaan. Ada target, instruksi langsung, tapi kontrak tidak pernah diberikan. BPJS pun tidak pernah dibuatkan,” ujarnya. Padahal, Undang-Undang menegaskan bahwa ketika ada unsur upah, tugas, dan perintah, maka otomatis terbentuk hubungan kerja. Tanpa kontrak formal pun, hak pekerja tak dapat dihapus seenaknya.
Ironisnya, upah yang diberikan disebut berada di bawah UMK—sebuah pelanggaran yang secara terang-terangan menyalahi Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.
Lebih jauh, sumber internal menyebut adanya pihak yang diduga dilibatkan dalam proses rekrutmen. oknum GP Ansor Sidoarjo muncul dalam komunikasi awal sebagai pihak yang diklaim ikut mengatur jalur perekrutan. Tetapi ketika jadwal klarifikasi digelar, baik perusahaan maupun pihak organisasi absen. Tidak ada jawaban, tidak ada kehadiran, tidak ada permintaan maaf. Lengang, sunyi, seperti menyembunyikan sesuatu yang tak ingin disorot lampu investigasi.
Jika dugaan itu benar, garis antara kemitraan sosial dan praktik pengelolaan tenaga kerja ilegal menjadi sangat tipis. Negara melalui UU Cipta Kerja dan PP 35/2021 menegaskan sistem outsourcing dan kerja sama hanya sah bila dibingkai dokumen transparan dan legal. Tanpa itu, apa yang terjadi bukan pemberdayaan—melainkan pengaburan status yang bisa menyeret banyak pihak ke ranah hukum.
Risiko kerja teknisi pun bukan urusan ringan. Listrik bertegangan tinggi, sistem pendingin bertekanan, pekerjaan ketinggian, potensi cedera fatal. Namun mereka bekerja tanpa jaminan kesehatan, tanpa perlindungan kecelakaan, dan tanpa kepastian jika sesuatu terjadi pada keluarga mereka.
Jika semua tuduhan ini terbukti, ancaman sanksi menanti: administratif, denda besar, hingga pidana penjara.
Kini, sorotan publik dan beban moral berpindah ke Disnaker Sidoarjo, pengawas ketenagakerjaan Jawa Timur, dan aparat penegak hukum. Apakah pengawasan negara akan hadir membela hak dasar pekerja? Atau jaringan kepentingan akan terus merajut perlindungan bagi sistem perekrutan gelap?
Para teknisi ini bukan catatan kecil dalam laporan produksi. Mereka adalah nyawa operasional perusahaan. Namun diperlakukan seakan bisa diganti kapan saja—tanpa izin, tanpa status, tanpa perlindungan.
Kasus ini tidak berhenti di sini. Gema Nusantara akan terus mengikuti perkembangan, meminta keterangan resmi, dan memastikan setiap pihak dimintai pertanggungjawaban. Karena buruh bukan sekadar komponen bisnis. Mereka manusia, pencari nafkah, pilar ekonomi. Dan hukum bukan dekorasi, melainkan pelindung yang harus berdiri di garis depan.(Dk/tgh)
- Penulis: Teguh Priyono
