Tunjangan DPRD Banyumas Capai Rp42 Juta, Pakar: Tanpa Transparansi Berisiko Skandal
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sab, 20 Sep 2025
- comment 0 komentar

Perdebatan Terkait Tunjangan Perumahan Anggota DPRD Banyumas
DIAGRAMKOTA.COM – Sejumlah pakar dan pejabat di Kabupaten Banyumas sedang memperhatikan isu tunjangan perumahan yang diberikan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penetapan besaran tunjangan ini dinilai terlalu besar oleh masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan dan kecurigaan.
Prof. Slamet Rosyadi, seorang pakar kebijakan publik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, menekankan pentingnya transparansi dalam pemberian tunjangan tersebut. Menurutnya, Pemerintah Kabupaten Banyumas harus menjelaskan secara jelas kepada masyarakat mengenai dasar perhitungan tunjangan perumahan yang diberikan kepada anggota DPRD. Hal ini termasuk penjelasan tentang sumber formulasi angka serta alasan mengapa nominalnya begitu besar.
Ia menilai bahwa kejelasan dalam penjabaran komponen biaya akan membantu masyarakat memahami alasan di balik besarnya tunjangan yang tercantum dalam Peraturan Bupati Banyumas Nomor 9 Tahun 2024—yang merupakan perubahan kelima atas Perbup Nomor 66 Tahun 2017 tentang hak keuangan DPRD. Tanpa penjelasan yang transparan, masyarakat bisa merasa curiga dan muncul anggapan negatif, terlebih karena nominal tunjangan tersebut terbilang tinggi.
Besaran tunjangan yang diberikan adalah sebagai berikut:
– Rp42,6 juta per bulan untuk Ketua DPRD
– Rp34,6 juta untuk Wakil Ketua
– Rp23,6 juta untuk anggota
Menurut Prof. Slamet, nilai tunjangan ini terasa janggal jika dibandingkan dengan standar biaya hidup di Banyumas. Ia mempertanyakan relevansi angka tersebut dengan harga sewa rumah di Purwokerto, yang diketahui berada di kisaran Rp10 juta per bulan untuk hunian kelas atas. Ia menegaskan bahwa tunjangan yang diberikan terlalu besar untuk ukuran Banyumas dan mempertanyakan apakah anggota DPRD benar-benar tinggal di perumahan elite.
Selain itu, ia menambahkan bahwa pejabat publik seharusnya menjadi contoh hidup sederhana dan menunjukkan empati terhadap masyarakat. Tanpa penjelasan yang memadai, tunjangan besar ini justru bisa menimbulkan citra kemewahan yang tidak semestinya.
Dalam konteks yang sama, Prof. Hibnu Nugroho, seorang pakar hukum pidana dari Unsoed, menyatakan bahwa penetapan tunjangan yang tidak wajar dapat menimbulkan dugaan mark up atau penggelembungan anggaran. Menurutnya, asas kewajaran dan kepatutan harus menjadi dasar dalam pengalokasian dana publik. Contohnya, jika di daerah lain tunjangan hanya sebesar Rp50 juta, namun di Banyumas ditetapkan Rp100 juta tanpa pembanding yang jelas, maka kebijakan tersebut patut dipertanyakan baik secara hukum maupun etika.
Sementara itu, Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono mengatakan bahwa pihaknya akan meninjau kembali besaran tunjangan tersebut bersama DPRD. Ia mengaku tidak bisa langsung menurunkan nilai tunjangan karena harus melalui proses yang sesuai dengan regulasi. Menurutnya, penetapan tunjangan ini dibuat sebelum ia menjabat. Saat ini, pihaknya menunggu perkembangan dan akan mendiskusikannya bersama DPRD. Semua keputusan harus sesuai mekanisme yang berlaku.





Saat ini belum ada komentar