DIAGRAMKOTA.COM – Sebanyak 24 tokoh anti-korupsi menyampaikan pendapat mereka sebagaiamicus curiae(rekan pengadilan) mengenai uji materi (judicial review) terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang telah diubah dengan UU 20/2001, dikutip dariANTARA.
Pakar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga menjadi Koordinator Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan, Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan bahwa uji materi tersebut telah mendapatkan perhatian dari pihaknya yang tergabung dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan.
Kemudian kami sepakat menyampaikan pendapat yang ditulis dan ditandatangani bersama. Keterangan tertulis ini telah kami kirimkan sebagaiamicus curiaeke Mahkamah Konstitusi (MK,” kata Erry saat konferensi pers Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan oleh para tokoh antikorupsi yang menandatanganiamicus curiaedi Jakarta, Rabu, sebagaimana dilaporkan dalam keterangan tertulis.
Selanjutnya, permohonan uji materi ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) yaitu Syahril Japarin, mantan karyawan Chevron Indonesia bernama Kukuh Kertasafari, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, serta mantan Direktur Utama Merpati Airlines Hotashi Nababan.
Secara prinsip, ia menyebutkan para tokoh anti-korupsi setuju dengan permohonan uji materi yang diajukan. Menurut para tokoh anti-korupsi, pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia sudah mengalami penyimpangan dan justru tidak efektif.
Sebabnya, menurutnya, korupsi kini tidak lagi dianggap sebagai tindakan yang bertujuan memperoleh keuntungan secara tidak sah, melainkan hanya sekadar semua tindakan yang dianggap merugikan keuangan negara.
Ia menganggap orang-orang yang berhati baik dan tidak berniat korupsi, serta mereka yang menjalankan tugasnya tanpa menerima suap bisa menjadi tersangka korupsi.
“Kejadian ini terjadi karena kasus korupsi lebih menekankan pada unsur kerugian keuangan negara yang perhitungannya seringkali tidak jelas dan tidak pasti, bahkan menggunakan asumsi atau prediksi,” ujarnya.
Menurutnya, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menekankan dua hal pokok, yakni tindakan yang melanggar hukum serta dampak berupa kerugian finansial negara atau stabilitas perekonomian negara.
Sementara Pasal 3 UU Tipikor, lanjutnya, mengatur mengenai penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau alat yang dimiliki seseorang akibat posisinya, yang berujung pada kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara.
Di lapangan, ekonom yang juga mantan Staf Khusus Wakil Presiden RI, Wijayanto Samirin, menyampaikan bahwa penanganan perkara korupsi di Indonesia cenderung lebih berfokus pada aspek kerugian negara daripada unsur pribadi yang merugikan secara ilegal.
Meskipun demikian, ia berpendapat bahwa potensi kerugian atau keuntungan merupakan akibat dari pengambilan keputusan, misalnya dalam konteks perusahaan milik negara (BUMN).
“Hal ini mengaburkan makna korupsi itu sendiri, yakni tindakan tidak jujur yang bertujuan memperoleh keuntungan ilegal, baik untuk diri sendiri maupun pihak lain,” ujar Wijayanto dalam kesempatan yang sama.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat menyampaikan bahwa kesalahan fokus dalam pemberantasan korupsi berdampak negatif terhadap kualitas penegakan hukum, menimbulkan ketidakpastian bagi para pekerja di sektor publik, serta membuat upaya pencegahan tidak menjadi prioritas utama.
“Banyaknya kasus yang terjadi membuat para pejabat, termasuk direksi BUMN, enggan mengambil keputusan strategis yang berpotensi menimbulkan risiko keuangan, meskipun tujuannya untuk kepentingan masyarakat,” kata Komaruddin.
Di sisi lain, ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa definisi korupsi dalam UU Tipikor yang menekankan kerugian negara sebagai indikator korupsi tidak diakui oleh negara-negara lain.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) tahun 2003, menurutnya, korupsi diartikan sebagai penggunaan kekuasaan secara tidak sah untuk memperoleh keuntungan pribadi atau orang lain.
“Kelemahan ini membuat proses Mutual Legal Assistance(MLA) sulit diterapkan karena persyaratannya adalah tindakan tersebut harus dianggap sebagai tindak pidana di kedua negara yang bekerja sama,” kata Hikmahanto.