DIAGRAMKOTA.COM – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Surabaya semakin menarik perhatian publik dengan adanya calon tunggal, Eri Cahyadi-Armuji, yang harus bersaing melawan kotak kosong.
Direktur Sarana Demokrasi, Asada atau yang akrab disapa Cak Sade, memberikan pandangannya mengenai situasi ini dan dampaknya terhadap masyarakat, khususnya yang mulai apatis terhadap partai politik (parpol).
Dalam pernyataannya, Cak Sade mengungkapkan bahwa fenomena kotak kosong menjadi pilihan alternatif bagi mereka yang kecewa dengan kinerja partai-partai politik. “Menurut pengamatan saya di media sosial, sebagian masyarakat sudah mulai apatis terhadap parpol. Nah, dengan adanya kotak kosong ini, menurut saya ini adalah pilihan terbaik bagi masyarakat yang merasa apatis terhadap parpol,” ujar Cak Sade, ditemui Diagramkota.com di Gedung DPRD Surabaya, Rabu (18/9/2024)
Lebih lanjut, ia menyoroti bagaimana fenomena calon tunggal ini memperlihatkan soliditas partai yang mendukung Eri Cahyadi, namun juga menyiratkan ketidakmampuan partai-partai lain untuk bersaing. “Parpol bersatu di satu kandidat, sementara kalau ada lawannya, pasti bercampur-campur. Saya berharap kotak kosong ini menjadi pilihan bagi masyarakat yang kecewa dengan partai politik.”
Cak Sade juga menyinggung masalah klasik di Surabaya, yakni surat ijo, yang menjadi keluhan masyarakat sejak lama. “Permasalahan surat ijo ini sudah berganti-ganti wali kota, janjinya lebih manis dari madu, tapi sampai hari ini tetap tidak ada penyelesaian dan masih jadi aset pemerintah. Saya mendukung warga surat ijo untuk memilih kotak kosong,” tegasnya.
Ketika ditanya mengenai alasan hanya ada satu calon, apakah ini mencerminkan ketidakmampuan partai di Surabaya dalam mencetak seorang pemimpin? Cak Sade menyebutkan pandangan dari beberapa tokoh politik.
“Menurut beberapa tokoh dan praktisi politik, partai-partai di Surabaya tidak mampu melahirkan kader untuk memimpin. Alasan sebenarnya adalah partai-partai tidak bisa menandingi Eri Cahyadi, atau survei Eri Cahyadi tidak akan tertandingi. Itu mungkin alasan logis para pimpinan partai,” ujarnya.
Dari situ, Sade meragukan hasil survei yang menunjukkan popularitas Eri Cahyadi sangat tinggi. “Kalau dikatakan Eri Cahyadi unggul berdasarkan survei, pertanyaannya, survei itu dari siapa? Kadang-kadang survei itu menyurvei dirinya sendiri atau membayar orang-orang untuk mensurvei dirinya sendiri. Jangan-jangan surveinya Eri Cahyadi seperti itu, dari kampus A, dibayar untuk menampilkan hasil seolah tak terkalahkan,” katanya dengan nada kritis.
Dengan demikian, Pilkada Surabaya kali ini tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga menguji kepercayaan publik terhadap sistem dan integritas parpol di kota pahlawan ini.
Masyarakat dihadapkan pada dua pilihan: mendukung calon tunggal Eri Cahyadi atau kotak kosong yang mulai dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi politik partai-partai besar. (dk/nw)