DIAGRAMKOTA.COM – Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Tubagus Lukman Amin, menegaskan perhatian terhadap minimnya dasar regulasi dalam pelaksanaan program Koperasi Kelurahan Merah Putih (Kopkel MP).
Ia menilai, proyek yang menyangkut dana besar tersebut seharusnya memiliki pedoman teknis yang kokoh agar tidak menimbulkan penyimpangan di lapangan.
Tubagus menyoroti bahwa saat ini tahapan pembentukan koperasi di tingkat kelurahan berjalan tanpa arah yang pasti. “Aturan-aturan secara normatif tok ya, nah itu seharusnya secara teknis pelaksanaan mestinya harus ada regulasi khusus yang mengatur pelaksanaan secara teknis,” ujarnya tegas saat ditemui di Gedung DPRD Surabaya, Senin (26/5/2025).
Sebagai bagian dari upaya memperkuat program, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengusulkan perlunya dibuat Peraturan Daerah (Perda), yang kemudian diturunkan dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwali). Langkah ini dinilai penting untuk menjamin proses pembentukan berjalan transparan, inklusif, dan berkeadilan.
“Harus ada rambu yang jelas bagaimana pembentukan koperasi ini dibentuk, harus melibatkan siapa perwakilan setiap RW, tiap kelurahan. Karena ini juga menyangkut asas keadilan juga,” imbuhnya.
Tubagus memperingatkan potensi terjadinya ketimpangan dalam keanggotaan koperasi jika tidak ada aturan yang jelas sejak awal. Ia mencontohkan kemungkinan satu RT mendominasi seluruh struktur anggota koperasi, yang tentu akan merusak prinsip keadilan sosial. “Jangan sampai ketika terbentuk tidak ada aturan regulasi yang jelas. Sudah dibentuk, ternyata anggota koperasi ini hanya satu RT saja. Itu tidak menjunjung asas keadilan,” kritiknya.
Ia juga mendorong agar program ini tidak hanya dilihat dari sisi penyaluran dana, tetapi juga harus dirancang berkelanjutan. “Jangan sampai ketika dana sudah turun langsung habis, tidak ada kegiatan apa-apa. Harus ada regulasi yang mengatur itu,” tegasnya.
Tubagus menilai, pendekatan kebijakan tidak bisa disamaratakan untuk semua wilayah. Ia memberi contoh bahwa sebagian wilayah Surabaya, khususnya di barat, memiliki tingkat kesejahteraan yang cukup tinggi sehingga intervensi berupa koperasi bisa jadi kurang relevan. Sebaliknya, wilayah seperti Surabaya Utara masih banyak dihuni oleh warga berpenghasilan rendah yang lebih membutuhkan dukungan ekonomi semacam ini.
“Di Surabaya Barat, banyak kelurahan warganya sudah mampu. Tidak layak untuk diberikan koperasi. Di sisi lain, Surabaya Utara banyak kelompok masyarakat kelas kecil yang sangat membutuhkan,” jelasnya.
Ia menyarankan agar dana Rp3 miliar per koperasi tidak didistribusikan secara seragam, namun berdasarkan hasil kajian lokal yang cermat. Tubagus juga mendorong keterlibatan legislatif dalam pengawasan rekrutmen pengurus koperasi di tiap kelurahan.
“Anggota DPRD 50 orang ini bisa dilibatkan sebagai pengawas dalam perekrutan anggota koperasi itu. Jangan sampai satu kampung anggotanya hanya dari satu RT saja,” tukasnya.
Sayangnya, hingga kini pihak legislatif belum dilibatkan secara resmi oleh eksekutif dalam pembahasan teknis maupun strategi pelaksanaan program koperasi ini. “Selama ini saya kira belum ada komunikasi bersama DPRD,” pungkasnya