Endipat Wijaya vs Ferry Irwandi: Membangun Kolaborasi, Bukan Persaingan
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sel, 9 Des 2025
- comment 0 komentar

Membangun Kolaborasi, Bukan Kompetisi
DIAGRAMKOTA.COM – Dalam situasi krisis seperti banjir besar yang melanda Sumatera pada akhir 2025, muncul perdebatan mengenai bagaimana bantuan diberikan dan diakui. Fenomena ini menunjukkan perbedaan pendekatan antara pemerintah dan masyarakat sipil. Dalam konteks ini, dua tokoh utama yaitu Ferry Irwandi dan Endipat Wijaya menjadi pusat perhatian.
Ferry Irwandi berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 10,3 miliar dalam tiga hari dari 87.000 donatur. Aksi ini viral dan dianggap sebagai bukti kegesitan solidaritas masyarakat. Namun, di balik kesuksesan tersebut, Endipat Wijaya menyampaikan kegelisahan tentang peran pemerintah dalam penanganan bencana. Ia mempertanyakan apakah negara benar-benar absen atau apakah standar kehadiran institusi saat krisis telah bergeser drastis.
Perbedaan Pendekatan dalam Penanganan Bencana
Ketimpangan persepsi ini memicu pertanyaan krusial. Apakah negara benar-benar absen, ataukah standar kehadiran institusi saat krisis telah bergeser drastis? Banjir besar yang melanda Sumatera pada akhir 2025, memang bukan bencana main-main. Lebih dari 800 nyawa melayang dan ratusan ribu jiwa terpaksa mengungsi. Dalam skala kerusakan masif seperti ini, narasi Ferry Irwandi versus Komdigi sejatinya bukan pertentangan “apple-to-apple”. Ini adalah dua metode komunikasi yang berbeda frekuensi.
Aksi Ferry menjadi viral karena sifatnya yang organik dan emosional. Sementara itu, bantuan pemerintah yang jumlahnya triliunan rupiah seakan lenyap ditelan birokrasi dan sepinya pemberitaan. Endipat Wijaya memiliki poin yang valid dalam argumennya. Ia menyoroti fenomena orang yang baru datang sekali, mendirikan satu posko, lalu berkoar bahwa pemerintah absen.
Tantangan Visibilitas Pemerintah
Visibilitas pemerintah hari ini menghadapi tantangan yang tidak pernah dialami birokrat satu dekade lalu. Di era media sosial, definisi kinerja telah bergeser drastis. Dulu, negara dianggap bekerja jika laporan administratif lengkap dan statistik tersaji rapi di meja pimpinan. Sekarang, legitimasi itu ditentukan oleh layar ponsel. Publik menilai kinerja pemerintah dari apa yang melintas di beranda Instagram dan TikTok mereka, bukan dari siaran pers resmi.
Para relawan dan influencer seperti Ferry memahami aturan main baru ini dengan sangat baik. Mereka tahu bahwa untuk membuktikan komitmen, konten harus menarik dan menyentuh hati. Setiap langkah didokumentasikan, setiap penyaluran bantuan disiarkan langsung. Transparansi bukan lagi sekadar laporan audit, melainkan tontonan real-time yang bisa diakses siapa saja.
Bahaya Panggung Pencitraan
Namun, ada bahaya laten jika kegelisahan ini tidak dikelola dengan bijak. Desakan agar pemerintah lebih ‘terlihat’ bisa menjerumuskan penanganan bencana ke dalam kompetisi citra semata. Bencana alam adalah tragedi kemanusiaan, bukan panggung branding. Ketika elite politik mulai membaca penanggulangan bencana sebagai arena kompetisi legitimasi, fokus utama bisa terpecah.
Energi yang seharusnya dicurahkan untuk memikirkan logistik dan pemulihan korban, bisa saja tersedot untuk memikirkan angle kamera dan strategi viral. Jangan sampai korban bencana, yang sedang berada di titik ternadir hidupnya, hanya dijadikan latar belakang demi konten institusi.
Membangun Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Pada akhirnya, kita perlu merenung kembali. Jika pemerintah memiliki sumber daya triliunan, mengapa mereka butuh validasi viral? Apakah bantuan yang tidak terekspos kamera menjadi tidak sah nilainya? Sebaliknya, jika relawan bisa begitu responsif dan transparan, mengapa birokrasi negara tidak bisa mengadopsi kelincahan serupa? Ini bukan soal siapa yang paling hebat, melainkan soal mentalitas pelayanan.
Bencana Sumatera menyisakan duka mendalam bagi ratusan ribu saudara kita. Dalam situasi seberat itu, korban tidak peduli siapa yang paling viral di Jakarta. Mereka hanya peduli siapa yang paling cepat memberikan selimut, makanan, dan kepastian tempat tinggal.
Solusi yang Berkelanjutan
Solusinya bukanlah pemerintah yang cemburu pada relawan. Solusinya adalah kolaborasi. Biarkan civil society mengisi celah kecepatan dan empati personal yang sulit dijangkau birokrasi. Sementara itu, biarkan negara fokus pada infrastruktur masif dan pemulihan jangka panjang yang tidak sanggup ditanggung oleh donasi publik.
Negara tidak perlu menjadi influencer untuk dicintai rakyatnya. Negara hanya perlu hadir secara nyata, tulus, dan berdampak. Percayalah, tanpa perlu viral pun, rakyat punya mata batin untuk merasakan siapa yang benar-benar bekerja untuk mereka.





Saat ini belum ada komentar