Dosen Hukum Kritik Korupsi Chromebook: Bising di Kasus Kecil, Bisu di Kasus Besar
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 0 menit yang lalu
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM – Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dr Benediktus Hestu Cipto Handoyo, mengkritik perkara dugaan korupsi terkait pembelian chromebook yang sedang berlangsung.
Menurutnya, kasus tersebut memerlukan perhatian serius dari aparat penegak hukum karena dianggap memiliki pola pelanggaran yang terstruktur, melibatkan berbagai wilayah, melibatkan jaringan vendor besar, serta berkaitan dengan kebijakan pusat dan daerah.
“Inilah masalah klasik, ketika korupsi besar, banyak aparat penegak hukum di daerah justru berkurang,” kata Ben, Selasa (2/12).
Ia mengkritik kecenderungan aparat penegak hukum yang terlalu cepat menangani kasus administratif yang sebenarnya hanya melanggar prosedur. Namun, lambat dalam menangani kasus yang menunjukkan indikasi penyalahgunaan dana seperti pengadaan Chromebook.
“Spesifikasinya seragam, harga bisa diukur, pola markup terlihat, namun penanganannya justru lambat. Banyak aparat lebih berani dalam kasus ringan, tetapi ragu dalam kasus yang berat,” tegasnya.
Ben menyesali aparat yang bertindak keras terhadap kesalahan administratif, namun diam saja ketika pola korupsi sudah jelas terlihat.
Ia menilai bahwa dalam kasus pengadaan, perusahaan merupakan pihak yang paling mungkin menguasai situasi, mulai dari penentuan spesifikasi, pengaturan harga, hingga keterlibatan dengan PPK.
Jika sebuah perusahaan sering menang dalam lelang di berbagai wilayah dengan pola yang sama, menurutnya, ini bukan sekadar kebetulan, melainkan sebuah rencana terencana.
Menurutnya, aparat sering memilih jalan pintas dengan menuntut pejabat pemerintah, sementara perusahaan yang mendapat manfaat justru tidak terkena konsekuensi, padahal seluruh direksi bisa dimintai tanggung jawab jika mereka mengetahui, mengizinkan, menyetujui, atau meraih keuntungan dari tindakan yang melanggar hukum.
“Ketangguhan untuk mengikat pemain hebat itu sering kali hilang,” katanya.
Ben menyatakan bahwa secara prinsip, seluruh jajaran direksi tidak dapat berdalih tidak mengetahui. Tata kelola perusahaan mensyaratkan mereka untuk mengawasi setiap kebijakan yang memiliki dampak finansial dan hukum.
Masalah pada Chromebook ini bukanlah kesulitan dalam mengungkap, melainkan ketidaksungguhan pihak berwajib dalam menyentuh inti permasalahan. Bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena kurangnya keberanian.
Petugas penegak hukum perlu menghentikan tindakan menembak pihak yang lemah dan membiarkan yang kuat, menghentikan keterlibatan dalam perkara administratif yang belum tentu memiliki niat jahat, serta mulai fokus pada kasus-kasus besar yang benar-benar merugikan negara, terstruktur dengan jelas, dan merupakan tindakan korupsi yang nyata.
“Jika pola pengadaan yang jelas dan terang tidak dianggap serius, penegakan hukum kita berada pada titik terendah—bising dalam perkara kecil, diam dalam perkara besar,” tutupnya.
Sementara itu, Ugik Ramantyo, Kasi Intel Kejari Lombok Timur, mengatakan bahwa berkas perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan perangkat TIK pada tahun 2022 telah diserahkan ke pengadilan.
Ada enam tersangka, yaitu LH yang menjabat sebagai Direktur PT Temprina Media Grafika, LA sebagai Direktur PT Dinamika Indo Media, AS yang merupakan Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Timur periode 2020–2022, A sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, serta S dan MJ dari CV Cerdas Mandiri dan PT JP Press.
Mengenai kemungkinan tersangka tambahan, Ugik menyatakan hal tersebut bisa terjadi jika muncul bukti baru selama persidangan.
“Jika para terdakwa menyebut pihak lain dan terdapat bukti yang memadai, tentu kami akan lanjutkan prosesnya,” katanya.
Terpisah, pakar hukum perusahaan Johanes Dipa Widjaja menganggap penyidik perlu memperdalam keterlibatan organ perusahaan lainnya, khususnya Direktur Utama dan Dewan Komisaris.
Menurutnya, dalam tata kelola perusahaan, kemungkinan besar pengadaan tidak dapat dilakukan tanpa diketahui oleh Direktur Utama.
“Ketidakwajaran ini wajar memicu spekulasi masyarakat, apakah justru seorang direktur tertentu yang ‘dikorbankan’ atau dijadikan tumbal dalam kasus ini,” katanya.





Saat ini belum ada komentar