DIAGRAMKOTA.COM — Polemik sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau yang kini dikenal dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) kembali mencuat di Kabupaten Sidoarjo. Tahun 2025, alih-alih menghadirkan keadilan dan pemerataan pendidikan, kebijakan ini justru dinilai menciptakan ketimpangan baru yang menyakitkan bagi banyak orang tua dan siswa.
Salah satu wali murid yang anaknya tak lolos seleksi menceritakan kekecewaannya. Ia menyebut sang anak memiliki nilai akademik yang tinggi dan tinggal sangat dekat dengan sekolah negeri pilihannya, tetapi tetap gagal diterima. Sementara itu, siswa lain yang nilainya lebih rendah dan jaraknya lebih jauh justru diterima.
Sambil menahan tangis, ia mengulang kalimat anaknya yang menyayat hati: “Buk, aku jaluk sepuro… Sianauku telung taun ora iso mlebu SMA Negeri. Aku tak ngewangi ibuk kerjoae timbang mlebu swasta. Larang, Buk…” Rasa kecewa dan hancur tak hanya dirasakan oleh anak, tetapi juga oleh orang tua yang merasa gagal memperjuangkan pendidikan terbaik bagi anaknya.
Sekretaris JPKP Nasional DPC Sidoarjo, Akbar, menyebut proses seleksi SPMB tahun ini sarat dengan kejanggalan dan minim transparansi. Ia menyoroti bahwa akses informasi sangat tertutup. Link jalur afirmasi, prestasi, mutasi orang tua/wali, hingga domisili tidak dapat diakses oleh publik secara bebas. Hanya segelintir pihak yang bisa membukanya. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik yang dijamin oleh undang-undang.
Petugas operator SPMB di belakang kantor Dinas Pendidikan Sidoarjo pun membenarkan bahwa sistem sengaja ditutup dengan alasan tahapan seleksi sudah memasuki tahap pemenuhan kuota tahap ketiga dan pemeringkatan tahap keempat, khusus SMK.
Namun, data investigasi JPKP membongkar fakta bahwa banyak sekolah negeri di Sidoarjo yang justru masih memiliki bangku kosong. Contohnya, SMAN 2 Sidoarjo tercatat masih memiliki 23 kursi, SMAN 3 ada 1 kursi kosong, SMAN 1 Tarik 7 kursi, SMAN 1 Krembung 4 kursi, SMAN 1 Sidoarjo 7 kursi, dan bahkan SMAN 1 Porong mengalami kelebihan (overload) 5 siswa. Data ini belum mencakup keseluruhan sekolah di Sidoarjo, namun cukup untuk menunjukkan adanya potensi manipulasi atau kelalaian dalam sistem penempatan.
Senada dengan JPKP, Ketua DPC Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) Kabupaten Sidoarjo, Agus Subakti, ST, juga mengecam keras sistem seleksi SPMB yang tidak adil dan tidak transparan tersebut. Ia menilai sistem yang seharusnya menjamin akses pendidikan secara merata, justru menciptakan diskriminasi terselubung yang merugikan siswa berprestasi dari keluarga biasa.
“Ini bukan sekadar ketidakterbukaan informasi. Ini bentuk pengabaian terhadap hak-hak dasar anak bangsa. Ketika anak-anak cerdas gagal masuk sekolah negeri karena sistem yang tertutup, sementara kursi-kursi dibiarkan kosong atau disisakan untuk kalangan tertentu, ini jelas pelanggaran serius,” tegas Agus Subakti.
Lebih lanjut, Agus menyampaikan bahwa DPC PWDPI akan mengambil langkah hukum. Mereka berencana untuk mengajukan laporan resmi kepada lembaga berwenang, termasuk Ombudsman dan Komisi Informasi Publik, serta meminta DPRD dan aparat penegak hukum mengusut dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan SPMB.
“Kami tidak akan berhenti di sini. Kami akan kawal persoalan ini sampai tuntas. Ini bukan semata soal siswa yang tak diterima, tapi soal keadilan sistemik dalam dunia pendidikan yang seharusnya bebas dari praktik kolusi, manipulasi, dan diskriminasi,” tegasnya.
DPC PWDPI juga meminta agar seluruh data proses SPMB, mulai dari jalur pendaftaran hingga pemenuhan kuota, dibuka secara menyeluruh ke publik. Jika tidak ada yang ditutupi, seharusnya pihak Dinas Pendidikan tidak perlu takut membuka data tersebut. Menurut Agus, keterbukaan adalah kunci agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan negeri bisa pulih.
Akbar dari JPKP turut menekankan pentingnya peran Kepala Cabang Dinas Pendidikan Sidoarjo, Dr. Kiswanto, S.Pd., M.Pd., untuk memberikan klarifikasi terbuka ke masyarakat, sesuai mandat Permendikbud tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam PPDB.
Jika tidak segera dibenahi, sistem pendidikan akan kehilangan arah dan makna. Pendidikan negeri bukan untuk dilanggengkan sebagai wilayah eksklusif bagi segelintir pihak, tetapi sebagai hak dasar semua anak bangsa tanpa kecuali.
Redaksi membuka ruang hak jawab dan klarifikasi dari pihak Dinas Pendidikan, DPRD, maupun instansi terkait lainnya. Suara rakyat, khususnya para orang tua dan siswa, tidak boleh diabaikan dalam proses pendidikan yang seharusnya menjadi jembatan masa depan.
(dk/tgh)