Antara Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Pemakzulan Wapres Gibran

Ini bukan semata persoalan legalitas administratif atau perolehan suara terbanyak, melainkan luka dalam bagi demokrasi—yang mencederai nalar moral, menabrak etika, dan mengkhianati konsensus kebangsaan sebagai fondasi republik.

Bagi banyak orang, ini bukan soal kalah atau menang, melainkan runtuhnya etika dan goyahnya prinsip negara hukum. Kemenangan Gibran tak sekadar capaian politik, tapi menyisakan tanya besar: apakah hukum melayani keadilan, atau justru tunduk pada kekuasaan?

Kini, isu yang mengemuka bukan lagi perkara remeh—mulai dari dugaan ijazah palsu Jokowi yang disuarakan kalangan ahli IT, hingga wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran yang digulirkan oleh sejumlah purnawirawan TNI.

Isu dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi kembali mencuat setelah Rismon Hasiholan Sianipar, mantan dosen Universitas Mataram, meragukan keaslian ijazah sarjana Jokowi dari UGM. Aksi demonstrasi pun digelar di UGM dan kediaman Jokowi di Surakarta, menuntut klarifikasi.

UGM membantah tegas tudingan itu, menyatakan Jokowi adalah alumnus sah Fakultas Kehutanan dan ijazahnya asli.

Pada 30 April 2025, Jokowi melaporkan lima orang ke Polda Metro Jaya atas dugaan fitnah terkait isu ini. Sebelumnya, tuduhan serupa sudah tiga kali digugat di pengadilan dan seluruhnya ditolak karena tak berdasar hukum.

Isu pemalsuan ijazah Jokowi, meski telah dibantah secara hukum oleh UGM dan pengadilan, tetap menggema dalam ranah simbolik dan persepsi publik. Di tengah kekecewaan terhadap arah demokrasi, isu ini menjadi kanal ekspresi atas ketidakpuasan yang lebih dalam terhadap konsolidasi kekuasaan politik dinasti.

Delegitimasi simbolik ini bukan semata soal fakta, melainkan soal kepercayaan yang terkikis. Ketika narasi pemalsuan terus bergulir meski lemah secara hukum, itu menandakan erosi kepercayaan terhadap integritas pemimpin dan kekecewaan atas jurang antara hukum formal dan rasa keadilan publik.

Di sisi lain, gerakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat pada pertengahan April 2025, dipelopori oleh sejumlah purnawirawan TNI dan tokoh masyarakat sipil. Mereka menilai keterpilihan Gibran lahir dari manipulasi hukum oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya lewat putusan yang mengizinkan pencalonannya meski belum memenuhi batas usia sesuai undang-undang.