Jatim Bejo, Pengadaan Barang dan Jasa di Jawa Timur Masih Rentan Korupsi
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sab, 22 Nov 2025
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM – Pengadaan barang dan jasa di pemerintahan daerah menjadi salah satu celah utama praktik korupsi di Jawa Timur. Meski upaya pencegahan melalui transformasi digital dilakukan, masih banyak tantangan yang menghambat keberhasilan sistem ini.
Sebagai bagian dari inisiatif untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel, Pemprov Jatim menciptakan aplikasi Jatim Bejo. Aplikasi ini dirancang sebagai platform pengadaan barang dan jasa secara elektronik atau e-purchasing. Tujuannya adalah memastikan proses pengadaan lebih efisien, cepat, dan aman dari risiko penyimpangan.
Namun, keberadaan aplikasi saja tidak cukup untuk mengatasi masalah korupsi dalam sektor ini. Banyak kasus suap dan penyalahgunaan wewenang terjadi, seperti yang terungkap dalam kasus proyek pembangunan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harjono, Ponorogo, dan Situbondo. Modus-modus penyimpangan seperti mark up harga, kolusi dalam tender, serta penerimaan gratifikasi tetap marak.
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa berkembang karena anggaran besar yang terlibat. Proses pengadaan sendiri sangat kompleks, mulai dari perencanaan hingga evaluasi proyek. Hal ini memberi peluang bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penyimpangan.
Perkembangan Jatim Bejo
Jatim Bejo telah diluncurkan sejak November 2020. Sejak saat itu, program ini menjadi ruang kolaborasi antara pemerintah daerah dengan pelaku usaha lokal, khususnya UMKM. Dalam waktu singkat, Jatim Bejo menunjukkan perkembangan signifikan. Jumlah transaksi meningkat, efisiensi belanja meningkat, dan partisipasi pelaku usaha juga semakin tinggi.
Selain itu, semakin banyak pemda di Jatim yang memanfaatkan Jatim Bejo. Hal ini memungkinkan belanja pemerintah menjadi lebih cepat, akuntabel, dan transparan. Dengan demikian, diharapkan sistem pemerintahan bisa lebih bersih dan berdaya saing tinggi.
Tantangan dalam Digitalisasi Pengadaan
Meskipun pengadaan barang dan jasa secara digital sudah diwajibkan sejak 2010, hingga hari ini belum 100 persen pengadaan dilakukan secara elektronik. Deputi Bidang Transformasi Pengadaan Digital LKPP, Patria Susantosa, mengatakan bahwa regulasi saja tidak cukup. Diperlukan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan.
Menurut data, penggunaan metode e-purchasing nasional meningkat secara signifikan. Dalam tiga tahun terakhir, pemanfaatan e-purchasing meningkat dari 16,4 persen pada 2022 menjadi 49,7 persen pada 2025. Namun, digitalisasi 100 persen belum tercapai karena masih banyak tantangan.
Salah satu kendala adalah kurangnya kesadaran dan adaptasi dari semua pihak. Instrumen dan regulasi sudah ada, tetapi political will atau kemauan politik untuk menerapkan digitalisasi masih rendah.
Langkah Kebijakan dan Regulasi
Untuk memperkuat digitalisasi pengadaan barang dan jasa, LKPP akan memperkuat regulasi melalui Perpres No 46/2025. Aturan ini memperketat penggunaan e-purchasing dalam pengadaan barang dan jasa. Selain itu, metode seperti pengadaan langsung, tender, dan seleksi harus menggunakan sistem elektronik.
Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Rifqi Ridlo Phahlevy, menekankan pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam pencegahan korupsi. Teknologi digital memungkinkan pengawasan yang lebih menyeluruh sejak awal hingga akhir proses pengadaan.
Kesiapan untuk Masa Depan
Digitalisasi pengadaan barang dan jasa memiliki potensi besar untuk menghadirkan empat aspek utama: tepat, cepat, bermanfaat, dan selamat. Dengan digitalisasi, pengadaan bisa dilakukan tanpa penyimpangan. Selain itu, pemanfaatan AI (artificial intelligence) di masa depan akan semakin optimal jika digitalisasi berhasil mencapai 100 persen. ***





Saat ini belum ada komentar