Pemkot Surabaya Tata Perparkiran, DPRD: Untuk Perangi Parkir Liar dan Lindungi Masyarakat

DIAGRAMKOTA.COM – Langkah Pemkot Surabaya yang kini intens menata parkir dinilai sebagai upaya sistematis untuk mewujudkan sistem perparkiran yang lebih baik dengan memerangi parkir liar dan pungutan-pungutan tak resmi.

Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan, mendukung penataan parkir oleh Wali Kota Eri Cahyadi karena berangkat dari keresahan masyarakat terhadap masalah parkir. Masalah terjadi pada dua skema parkir yang diatur pemerintah, yaitu parkir di fasilitas lokasi usaha seperti toko swalayan, serta parkir tepi jalan umum/TJU alias parkir yang menggunakan badan jalan.

Screenshot 2025 06 03 13 17 57 67 6012fa4d4ddec268fc5c7112cbb265e7

Eri Irawan menyebut problem manajemen perparkiran bersumber dari dua pangkal masalah. Pertama, masih adanya parkir liar dengan pungutan-pungutan tak resmi. Kedua, kebocoran retribusi parkir dari parkir di sekitar 1.400 titik tepi jalan umum (TJU) yang merugikan daerah.

Terkait parkir liar, Eri menjelaskan, ada pada lokasi usaha yang tidak memiliki izin tempat parkir, serta wilayah-wilayah tepi jalan umum yang luput dari pantauan Dinas Perhubungan. “Keberadaan parkir liar merugikan masyarakat. Ini ’penyakit’ menahun. Dan ini menjadi keluhan, bukan hanya di Surabaya, tapi se-Indonesia. Maka langkah penataan harus dimulai dengan berani. Pasti pro-kontra, karena menggeser zona nyaman, ada kepentingan-kepentingan yang terganggu,” ujar Eri, Selasa (17/6/2025).

Di lokasi usaha, terjadi parkir liar karena semua pihak abai dalam menerapkan Perda 3/2018 tentang Penyelenggaraan Perparkiran. Eri mengatakan, Perda dengan isi sejenis ada banyak kabupaten/kota lain. Di dalamnya mengatur soal kewajiban mengurus izin penyelenggaraan tempat parkir bagi dunia usaha yang memiliki lahan/fasilitas parkir, termasuk toko swalayan. Dengan adanya izin tempat parkir resmi, maka tercipta standardisasi pelayanan parkir.

”Apa itu standardisasi pelayanan parkir? Ada upaya menjaga keamanan, ada jukir resmi sehingga jukir liar otomatis hilang, ada layanan pengaduan misal bila jukir resmi tidak ramah, ada rambu-rambu parkir yang baik, dan sebagainya,” jelas Eri Irawan.

Faktanya, lanjut Eri, hanya sebagian kecil lokasi usaha yang memiliki izin tempat parkir. Inilah yang membuat pengelolaan parkir di lokasi usaha masih amburadul karena tidak menerapkan standardisasi pelayanan parkir. ”Inilah yang harus kita benahi, dan itu sudah dimulai oleh Pemkot Surabaya,” ujarnya.

Eri mengatakan, langkah Pemkot Surabaya dalam menata izin tempat parkir menjadi solusi bagi pemberantasan parkir liar di lokasi-lokasi usaha. Saat ini, lanjut dia, ada persepsi keliru yang menyatakan bahwa ”yang bermasalah jukir liar di swalayan, kok yang ditertibkan swalayannya?”.

”Itu anggapan yang menyederhanakan persoalan, dan justru tidak menyelesaikan masalah. Karena justru pangkal masalahnya ada pada ketiadaan izin tempat parkir di lokasi usaha yang berkonsekuensi pada timbulnya masalah jukir liar,” ujarnya.

”Mari bayangkan. Seluruh lokasi di Surabaya tidak ada jukir liar, tapi kita juga tidak mendukung penataan izin tempat parkir yang ada jukir resminya. Artinya, jukir liar hilang, tapi jukir resmi tidak ada. Apa yang akan terjadi? Ketidakberaturan. Curanmor mudah masuk. Lalu lintas di lokasi usaha berpotensi kacau. Dan sebagainya,” imbuh Eri Irawan.

Terkait pro-kontra parkir berbayar di lokasi usaha, lanjut Eri, Perda telah mengakomodasi semuanya, tergantung kebijakan masing-masing dunia usaha. Selama ini, pajak parkir yang dibayarkan berkisar Rp175.000-Rp250.000 per bulan per toko swalayan. Dengan membayar Rp 175.000-Rp 250.000 per bulan, tentu tidak menghilangkan dukungan pelaku usaha untuk menerapkan Perda dengan menyediakan jukir resmi untuk menghindari jukir liar dan memberikan keamanan bagi masyarakat.

”Nah kemarin kan ditantang untuk jujur. Bisa dengan digitalisasi. Berapa sih sebenarnya motor dan mobil yang parkir? Dari sana pemilik usaha bisa mengalkulasi. Silakan ambil keputusan. Bisnis jalan, konsumen aman karena lokasi parkirnya terkelola dengan baik. Kalau konsumen happy dan aman, bisnis pasti tumbuh,” jelasnya.

Adapun terkait kebocoran retribusi parkir di tepi jalan umum, Eri meminta Pemkot Surabaya untuk melakukan pengawasan secara intens dengan diiringi penegakan hukum secara teratur. ”Di TJU-TJU, yang seharusnya potensi retribusi misalnya Rp 200.000 per hari, yang masuk ke negara hanya Rp100.000. Kebocoran ini membuat target retribusi parkir di Surabaya hampir tidak pernah tercapai. Tahun 2024 hanya tercapai tak sampai 50% dari target sekitar Rp60 miliar,” jelas Eri.