Antara Tugas Negara dan Views YouTube: Siapa Sebenarnya yang Mereka Layani?
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 57 menit yang lalu
- comment 0 komentar

Sumber foto : KANG DEDI MULYADI CHANNEL
DIAGRAMKOTA.COM – Dalam era digital saat ini, jabatan publik tak lagi hanya bersandar pada kekuasaan birokrasi—melainkan juga pada kemampuan menghasilkan “value” di ruang publik, termasuk lewat platform konten digital. Kasus dua figur publik Indonesia yakni Dedi Mulyadi (Gubernur Jawa Barat) dan Armuji (Wakil Wali Kota Surabaya) menjadi ilustrasi menarik bagaimana gaji dan tunjangan resmi pejabat daerah menjadi satu hal, sementara penghasilan konten digital bisa menjadi hal lain yang jauh lebih besar — dan menuntut transparansi serta tata kelola yang baik.
Gaji & Tunjangan: Realitas Resmi
Berdasarkan data publik:
Dedi Mulyadi secara terbuka menyebut bahwa gaji dan tunjangan gabungan jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat hanya berada di kisaran Rp 8,1 juta per bulan. (Radar Bogor)
Sedangkan untuk wakil wali kota atau wakil kepala daerah secara umum, publikasi menyebut bahwa “gaji pokok wakil wali kota/bupati” adalah sekitar Rp 1,8 juta per bulan; tunjangan jabatan wakil kepala daerah sah‐dipublikasi sekitar Rp 3,24 juta per bulan. (Detik.com)
Artinya, jika dijumlahkan, estimasi penghasilan resmi seorang wakil wali kota bisa berada di kisaran ~Rp 5 juta per bulan (gaji pokok + tunjangan dasar) sebelum tunjangan lainnya dan fasilitas.
Untuk gubernur, peraturan PP Nomor 59 Tahun 2000 menetapkan gaji pokok gubernur di angka sekitar Rp 3 juta per bulan; ditambah tunjangan jabatan Rp 5,4 juta per bulan. (Obor Timur)
Begitu kita hitung: gaji pokok (Rp 3 juta) + tunjangan jabatan (Rp 5,4 juta) = ~Rp 8,4 juta per bulan — konsisten dengan angka Rp 8,1 juta yang disebut Dedi. (Inilah.com)
Dengan demikian, angka resmi yang terbuka menunjukkan bahwa gaji pejabat daerah tingkat provinsi atau kota masih dalam kisaran satu digit juta rupiah per bulan. Ini kontras jika dibandingkan dengan praktik “penghasilan digital” yang akan dibahas berikutnya.
Penghasilan Konten Digital: Potensi yang Signifikan
Dedi Mulyadi dikenal aktif di YouTube dan media sosial lainnya. Beberapa publikasi menaksir penghasilan kanal YouTube‐nya dalam kisaran sangat besar. Sebagai contoh:
Estimasi menyebut bahwa penghasilan dari YouTube Dedi bisa mencapai lebih dari Rp 5,3 miliar per bulan dari dua kanal yang dikelola. (Radar Kudus)
Laporan lain menyebut bahwa pendapatan YouTube Dedi mencapai “Rp 342 juta per hari” dalam satu analisis publik. (Youtube)
Kanal Wakil Wali Kota Surabaya Armuji (@Cakj1) tercatat memiliki sekitar 398 000 subscriber publik. (Youtube) Potensi monetisasi kanal ini lebih kecil dibanding kanal jutaan subscriber seperti milik Dedi, namun tetap signifikan sebagai “penghasilan non‐jabatan”.
Mengapa Perbandingan Ini Penting?
Perbandingan antara gaji resmi dan potensi penghasilan konten menunjukkan beberapa implikasi:
Gap besar antara gaji resmi dan potensi digital – Dalam konteks Dedi, gaji resmi ~Rp 8 juta/bulan jauh kalah dibanding estimasi ratusan juta hingga milyar dari konten. Ini membuat publik bertanya: apakah “jabatan publik” kini hanya salah satu sisi dari “potensi ekonomis” figur publik?
Transparansi dan tata kelola – Ketika pendapatan non-jabatan melejit, diperlukan pengungkapan yang jelas (LHKPN, pajak, konflik kepentingan) agar aktivitas komersial tidak menimbulkan benturan dengan tugas jabatan.
Peran pejabat sebagai “creator” – Figur seperti Dedi dan Armuji memanfaatkan kanal digital untuk komunikasi publik, branding, dan interaksi. Ini nilai positif. Namun jika konten juga monetarisasi dengan pihak yang punya relasi pemerintahan, ada pertanyaan etika.
Fokus publik & harapan masyarakat – Masyarakat masih berfokus pada kinerja jabatan (pelayanan publik, kebijakan) namun figur publik juga kini menjadi ruang komersial. Perlu keseimbangan antara tugas pelayanan dan hak memperoleh penghasilan lainnya.
Catatan dan Kewaspadaan
Estimasi penghasilan YouTube adalah perkiraan pihak ketiga berdasarkan metrik publik (views, subscriber, RPM) dan bukan angka resmi yang diverifikasi pemilik kanal atau pihak terkait. Misalnya, angka “Rp 5,3 miliar/bulan” untuk Dedi berasal dari media yang menganalisis data publik. (Radar Kudus)
Gaji pokok/tunjangan yang disebut mungkin belum mencakup seluruh fasilitas (mobil dinas, rumah dinas, biaya operasional) yang dibayar pemerintah dan bukan untuk konsumsi pribadi pejabat. Mis‐interpretasi bisa terjadi jika anggaran operasional dianggap “gaji”.
Kanal digital milik pejabat berbeda karakter dengan kanal komersial murni; kombinasi antara fungsi publik dan komersial perlu regulasi & moralitas tinggi.
Rekomendasi Kebijakan
Pemerintah daerah dan KPK dapat mendorong pengungkapan khusus untuk “pendapatan non-jabatan” pejabat yang berasal dari kanal digital/endorsement, agar publik memahami sumber income.
Peraturan daerah/pemda harus mengatur bahwa pejabat yang menghasilkan konten komersial tetap memisahkan fungsi sebagai pejabat dan sebagai creator—misalnya larangan endorse pihak yang berkontrak dengan pemda.
Media & masyarakat perlu mendorong verifikasi dan klarifikasi data: jangan hanya mengutip angka besar “perkiraan”, tetapi menuntut data lisensi, kontrak, atau pernyataan resmi pemilik kanal jika ingin menilai besaran nyata.
Kesimpulan
Perbandingan antara kedua figur publik—Dedi Mulyadi dan Armuji—menunjukkan bahwa gaji resmi sebagai pejabat bisa menjadi bagian kecil dari potensi penghasilan keseluruhan bila figur tersebut aktif di dunia digital. Ini membuka babak baru dalam pemerintahan—di mana pejabat bukan hanya pelayan publik, tetapi juga content creator. Namun, bila potensi itu tidak diatur dan dilaporkan dengan baik, justru bisa menimbulkan persepsi bahwa jabatan digunakan sebagai “platform pribadi”.
Pada akhirnya, tanggung jawab publik tetap: memastikan bahwa jabatan tetap untuk publik, bukan sekadar untuk branding atau monetisasi pribadi. Sehingga pelayanan tetap menjadi prioritas utama.

Catatan asumsi:
RPM/CPM untuk YouTube Indonesia sangat bervariasi. Estimasi pada tabel menggunakan asumsi konservatif Rp 10.000 per 1.000 view (bergantung niche, durasi, negara, moneterisasi).
Angka “Total penghasilan YouTube” bukan gaji tetap, melainkan estimasi berbasis publik & dapat berubah tiap bulan.
Angka-angka dalam tabel dan paparan di atas memberikan gambaran: gaji resmi pejabat daerah berada di kisaran jutaan rupiah per bulan, namun potensi pendapatan digital dapat jauh lebih besar. Ini bukan sekadar soal “siapa kaya siapa”, melainkan soal bagaimana publik memahami peran jabatan, penghasilan tambahan, dan regulasi yang mengaturnya.
Mari kita mendorong agar di era konten digital ini, pejabat publik tidak hanya pandai membuat video viral, tetapi juga menjadi teladan transparansi, akuntabilitas, dan mengutamakan pelayanan publik. (dk/red)




