Selain itu, survei ini membangun narasi bahwa kehadiran Gibran sebagai wakil presiden memberikan dampak positif terhadap persepsi publik atas kinerja pemerintahan.
Aksi tandingan juga dilakukan, baik melalui demo maupun pernyataan sikap dari kelompok purnawirawan yang masih dapat dikendalikan oleh Jokowi dan Wakil Presiden Gibran. Kelompok ini meliputi organisasi purnawirawan TNI-Polri seperti PEPABRI, LVRI, PPAD, PPAL, PPAU, PP Polri, dan PERIP.
Persatuan Purnawirawan TNI-Polri, yang anggotanya termasuk Jenderal (Purn) Agum Gumelar hingga Jenderal (Purn) Wiranto, turut menyatakan dukungannya terhadap Wakil Presiden Gibran Raka Bumingraka.
Tidak hanya itu, Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, turut berkomentar. Dengan pengaruh besar di media sosial yang diikuti jutaan orang, ia membangun narasi bahwa polemik seputar Gibran di Mahkamah Konstitusi hanyalah pemicu permukaan. Menurut Dedi, akar permasalahan sebenarnya adalah rasa marah yang timbul.
Kemarahan tersebut, menurut Dedi, muncul karena Presiden Jokowi dan keluarganya secara terbuka mendukung pasangan Prabowo–Gibran. Dukungan ini dianggap telah mengurangi kekuatan calon presiden lain dan memperbesar potensi kekalahan mereka. Dedi juga menegaskan bahwa Gibran memenuhi kualifikasi, seperti kemampuan berbahasa Inggris dan kepemimpinan yang terbukti saat menjabat Wali Kota Surakarta.
Sebagai contoh, Dedi menyebutkan pendirian pabrik pengelolaan sampah menjadi energi listrik—sebuah prestasi yang menurutnya bahkan belum terwujud di Bantar Gebang. “Anak presiden sampai harus membungkukkan badan itu hal yang berat,” sindirnya, menanggapi ekspektasi yang dianggap tidak realistis terhadap Gibran.
Tak bisa disangkal, dalam dunia politik, narasi memegang peranan penting. Dalam konteks isu pemakzulan Gibran, propaganda yang dibangun oleh kubu Jokowi–Gibran tampaknya bertujuan menciptakan citra positif tentang kepemimpinan mereka.
Namun, apakah kritik terhadap politik dinasti hanya dianggap sebagai suara bising tanpa makna? Apakah persoalan politik dinasti dan reputasi seseorang yang pantas menjadi nomor dua di negara ini sesederhana itu?
Bagi banyak orang, ini bukan hanya soal kalah atau menang, melainkan soal rusaknya etika dan ambruknya prinsip negara hukum.
Atau, akankah ini menjadi bukti bahwa Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja dan mulai menunjukkan potensi disintegrasi?
Apakah Politik Dinasti Tetap Berjaya?
Apakah pemberantasan nepotisme dan politik dinasti hanyalah utopia dalam demokrasi Indonesia? Dengan rendahnya literasi politik dan kuatnya patronase, jawabannya cenderung ya.
Politik dinasti bukan hanya soal darah, tetapi juga sistem kekuasaan yang diwariskan kepada keluarga dan kroni. Di banyak daerah, jabatan publik telah menjadi “aset” keluarga yang diwariskan tanpa rasa malu, dan publik seringkali memaklumi hal ini sebagai sesuatu yang “lumrah.”
Selama suara rakyat lebih mudah dibeli dengan bantuan sesaat atau popularitas semu, akal sehat demokrasi tetap lumpuh. Politik dinasti pun tumbuh subur di panggung utama, bukan di balik layar.