Antara Isu Ijazah Palsu Jokowi dan Pemakzulan Wapres Gibran

Maka ketika Presiden Jokowi mulai mengkondisikan anak, menantu, dan jaringan keluarganya dalam berbagai posisi strategis, gelombang kemarahan publik pun meletus. Puncaknya terjadi saat putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang belum memenuhi syarat usia, tetap maju sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 melalui perubahan kontroversial terhadap ketentuan konstitusi.

Begitu pula dengan menantunya, Bobby Nasution, yang maju dalam Pilkada Sumatera Utara 2024, serta anak sulungnya, Kaesang Pangarep, yang tiba-tiba muncul sebagai Ketua Umum partai politik meski tanpa rekam jejak politik yang jelas. Baik anak maupun menantu Jokowi tidak melalui proses panjang aktivisme atau perjuangan publik. Namun, keduanya melaju mulus ke panggung kekuasaan, seakan tanpa hambatan berarti.

Gelombang perlawanan terhadap praktik politik dinasti ini datang dari mahasiswa, kelompok masyarakat sipil, hingga partai besar seperti PDI Perjuangan. Namun, semua itu tak mampu menghentikan laju kekuasaan yang telah dikondisikan dengan rapi.

Badai perlawanan memang menerpa Presiden, namun kapal kekuasaan tetap berlayar tenang—terlihat indah di permukaan, tetapi menyisakan luka dalam pada dasar demokrasi yang semakin tergerus.

Antara Soe dan Gibran

Dalam dunia politik modern, ukuran kepemimpinan tak lagi hanya dilihat dari keberhasilan membangun jalan atau menurunkan angka kemiskinan. Cara seorang pemimpin memperlakukan keluarganya dalam lingkar kekuasaan juga jadi sorotan penting. Apakah keluarga dijaga agar tidak ikut campur? Atau justru dimasukkan ke dalam panggung utama politik?

Ada contoh menarik menjadi perbandingan sensitivitas publik dan penegakan hukum yang sangat kontras antara Indonesia dan Korea Selatan.

Di Indonesia, publik ramai membicarakan kemunculan Gibran Rakabuming Raka, putra dari Presiden yang sedang berkuasa, Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden di Pilpres 2024. Gibran sempat terkendala usia minimum yang disyaratkan undang-undang.

Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memutuskan perubahan syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden, sehingga Gibran pun melenggang ke bursa Pilpres 2024. Banyak pihak menilai perubahan itu sarat dengan konflik kepentingan—terutama karena hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan pamannya sendiri.