DIAGRAMKOTA.COM – Surabaya, kota penuh sejarah dan dinamika, kini tampaknya mulai bertransformasi menjadi sebuah monumen pribadi. Bukan monumen untuk menghormati para pahlawan atau tokoh berpengaruh dalam sejarah kota ini, tetapi lebih ke ajang “personal branding” sang pemimpin.
Lihat saja bagaimana geliat penamaan berbagai program dan fasilitas publik belakangan ini. Dari Surabaya EC (Expo Center) hingga RSEC (Rumah Sakit Eka Chandra Rini), semuanya seakan meninggalkan “tanda tangan” khusus. Bahkan, program kesehatan yang seharusnya untuk rakyat pun tak luput dari sentuhan pribadi, seperti R1N1 (1 RW 1 Nakes)—sebuah inisiatif yang, entah kebetulan atau disengaja, tetap membawa “Rini” dalam namanya.
Jika tren ini terus berlanjut, tak menutup kemungkinan ke depan kita akan menemukan Jalan Raya EC, Taman Kota Rini, atau mungkin Jembatan Eri-Rini dan Halte Eri Cahyadi? Bagaimana dengan stadion baru bernama Eri Cahyadi Arena? Toh, sejarah membuktikan bahwa banyak pemimpin yang ingin meninggalkan jejak mereka, bukan hanya dalam kebijakan, tetapi juga dalam prasasti yang bertahan lebih lama dari masa jabatan mereka sendiri.
Menamai infrastruktur dengan nama tokoh penting sebenarnya bukan hal baru. Tetapi jika setiap proyek yang dicanangkan selalu punya sentuhan nama sang pemimpin atau keluarganya, publik tentu berhak bertanya: apakah ini demi rakyat atau demi membangun warisan pribadi?
Surabaya adalah milik warganya, bukan milik satu nama. Seharusnya yang ditinggalkan adalah kebijakan yang benar-benar berdampak nyata bagi masyarakat, bukan sekadar jejak nama yang tertanam di setiap sudut kota. Sebab, sejarah akan mencatat siapa yang benar-benar bekerja untuk rakyat, dan siapa yang hanya ingin dikenang dengan prasasti. (dk/nw)