Heboh DPRD Surabaya Usir Wartawan: Cerminan “Anak TK” dalam Demokrasi?

FORUM OPINI453 Dilihat

*Oleh: Agunk Sapuk (Warga Surabaya)

DIAGRAMKOTA.COM – Ketika almarhum Gus Dur menyebut bahwa DPR seperti anak TK, banyak yang menganggapnya sebagai guyonan politik khas beliau. Namun, jika melihat kejadian terbaru di DPRD Surabaya yang mengusir wartawan dari ruang hearing, tampaknya ungkapan itu masih relevan hingga hari ini.

Bagaimana mungkin lembaga yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru bersikap tertutup terhadap publik? Keputusan untuk mengusir wartawan dari pembahasan mengenai penertiban Pasar Mangga Dua bukan hanya soal aturan internal DPRD, tetapi juga pertanyaan besar tentang komitmen mereka terhadap transparansi.

Demokrasi Tanpa Transparansi, Demokrasi Setengah Hati

Jika demokrasi diibaratkan sebagai sebuah rumah kaca, maka transparansi adalah dinding yang membuat segala sesuatu di dalamnya terlihat jelas oleh publik. Namun, ketika DPRD Surabaya menutup akses media, mereka seolah-olah ingin mengganti dinding kaca itu dengan tembok beton.

Orientalis dan pengamat Barat sering kali mengkritik bagaimana demokrasi di negara berkembang lebih sering bersifat seremonial ketimbang substantif. Salah satu kelemahannya adalah kurangnya transparansi dan pengawasan terhadap para pejabat publik.

Samuel P. Huntington, seorang ilmuwan politik ternama, dalam bukunya ‘Political Order in Changing Societies’ menyoroti bahwa demokrasi yang lemah sering kali terperangkap dalam birokrasi yang tertutup dan elitis. Wakil rakyat yang harusnya bekerja untuk kepentingan publik malah menjadikan kekuasaan sebagai privilege eksklusif yang hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu.

Apa yang terjadi di DPRD Surabaya mencerminkan hal ini. Keputusan untuk mengusir wartawan bukan sekadar tindakan kecil, tetapi simbol dari mentalitas politik yang masih jauh dari prinsip demokrasi yang matang.

Mengapa Wartawan Harus Dihalau?

Seharusnya, jika hearing ini benar-benar membahas kebijakan publik, tidak ada alasan untuk menjadikannya sebagai pertemuan tertutup. Kecuali, tentu saja, ada hal-hal yang tidak boleh diketahui oleh masyarakat.

Jika memang tidak ada yang disembunyikan, mengapa harus takut dengan transparansi?

Jurnalis adalah mata dan telinga publik. Mereka bekerja bukan hanya untuk mencari berita, tetapi juga untuk mengawasi kekuasaan agar tetap berada dalam koridor kepentingan rakyat. Pengusiran wartawan justru mengindikasikan bahwa ada ketakutan terhadap pengawasan publik.

Hal ini mengingatkan kita pada kritik keras filsuf politik Noam Chomsky, yang mengatakan bahwa “kekuasaan cenderung menutup diri dari pengawasan, kecuali jika ada tekanan besar dari rakyat.”

DPRD Surabaya: Belajar dari Demokrasi yang Lebih Matang

Di negara-negara dengan demokrasi mapan, transparansi adalah syarat mutlak dalam setiap kebijakan publik. Bahkan di Amerika Serikat atau Eropa, rapat-rapat parlemen bisa disiarkan langsung agar masyarakat tahu bagaimana wakil mereka bekerja.

Sementara di Indonesia, bahkan di tingkat daerah seperti Surabaya, masih ada mentalitas bahwa rapat bisa ditutup dari publik dengan alasan yang tidak jelas.

Apakah ini karena ada kepentingan tersembunyi?

Atau karena para anggota dewan masih belum siap untuk menjalankan demokrasi secara dewasa?

Kalau melihat kejadian ini, rasanya ucapan Gus Dur tentang DPR seperti anak TK masih sangat relevan.

Demokrasi Butuh Dewasa, Bukan Kekanak-kanakan

Pengusiran wartawan oleh DPRD Surabaya bukan sekadar insiden sepele. Ini adalah refleksi dari masih lemahnya pemahaman tentang demokrasi dan transparansi.

Jika wakil rakyat benar-benar ingin membangun Surabaya dengan baik, mereka harus belajar bahwa demokrasi bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi juga tentang keterbukaan.

Jika tidak, jangan salahkan publik jika mereka dianggap tidak lebih dewasa daripada anak TK, seperti yang pernah disindir oleh Gus Dur.

Bagaimana menurut Anda? Apakah DPRD Surabaya memang masih seperti “anak TK” dalam memahami demokrasi? Berikan pendapat Anda di kolom komentar! *

Share and Enjoy !