DIAGRAMKOTA.COM — Pemilihan Walikota Surabaya 2024 yang baru saja selesai menyisakan sebuah isu menarik: bagaimana sebuah pemimpin terpilih Surabaya bisa dianggap tidak sah atau unlegitimate meski telah meraih suara terbanyak? Salah satu contoh yang tengah ramai dibicarakan adalah dengan dukungan 18 Partai Politik perolehan suara calon Walikota Erji, yang memperoleh 931.602 suara atau sekitar 41,80% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Surabaya yang mencapai 2.229.244 orang.
Dukungan Minim: Apa Artinya?
Secara teori, dalam sistem pemilu Indonesia, pemenang Pilkada adalah kandidat yang memperoleh suara terbanyak, bukan mayoritas mutlak (lebih dari 50%). Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah seorang pemimpin yang terpilih dengan hanya mendapatkan 41,80% dukungan benar-benar mewakili kehendak mayoritas warga Surabaya?
Penting untuk dicatat bahwa pemilu yang hanya melibatkan dua calon saja memang bisa menghasilkan pemenang dengan persentase suara yang relatif rendah. Namun, di kota besar seperti Surabaya, di mana jumlah pemilih sangat besar dan beragam, beberapa pihak merasa bahwa angka tersebut mencerminkan adanya ketidaklegitimanannya sebagai pemimpin kota.
Hasil ini menegaskan bahwa lebih dari separuh warga Surabaya memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih kotak kosong. Situasi ini menimbulkan pertanyaan terkait legitimasi politik pasangan yang kembali memimpin kota pahlawan.
Dalam konteks demokrasi, meskipun pasangan Eri-Armuji secara hukum telah dinyatakan menang, angka partisipasi yang rendah menunjukkan adanya tantangan besar dalam membangun kepercayaan publik.
Bisa disebut, hasil ini sebagai cerminan krisis representasi. “Ketika pemimpin terpilih hanya mendapatkan dukungan sekitar 42 persen dari total DPT, itu berarti ada masalah besar dalam keterlibatan warga. Kemenangan ini sah secara hukum, tetapi legitimasi sosialnya patut dipertanyakan.”