Satu Tahun Prabowo-Gibran: Kebijakan Pajak Tidak Berubah?
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sen, 20 Okt 2025
- comment 0 komentar

Pemerintahan Prabowo-Gibran Memasuki Masa Satu Tahun dengan Tantangan Ekonomi
DIAGRAMKOTA.COM – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan memasuki masa satu tahun pada Senin (20/10/2025) esok. Dalam masa kampanye, pasangan tersebut memberikan janji-janji ambisius, termasuk mencapai rasio pendapatan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 23%. Namun, secara historis, rasio ini selalu berada di kisaran 12—13%. Hal ini menunjukkan bahwa target yang diberikan sangat tinggi dan tidak realistis.
Dalam dokumen Asta Cita, Prabowo sudah merencanakan langkah-langkah untuk mewujudkan rasio pendapatan negara terhadap PDB menjadi 23%, salah satunya melalui reformasi kelembagaan dengan pembentukan Badan Penerimaan Negara. Sayangnya, hingga saat ini, badan tersebut belum terealisasi. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo seperti tidak memiliki opsi lain untuk mencapai target yang telah ditetapkan.
Setahun menjabat, penerimaan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara tidak menunjukkan perkembangan signifikan. Bahkan, penerimaan pajak terus mengalami kontraksi secara tahunan sejak awal 2025. Hingga kuartal III/2025 atau akhir September 2025, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak mencapai Rp1.295,3 triliun atau hanya 62,4% dari outlook sepanjang tahun (Rp2.076,9 triliun). Angka ini turun 4,4% dibandingkan realisasi penerimaan pajak pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.354,9 triliun atau setara 70,5% dari outlook sepanjang tahun.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai bahwa kebijakan perpajakan yang dijalankan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran belum menunjukkan arah yang jelas. Ia menjelaskan bahwa Prabowo mewarisi kondisi “mati gaya” dari akhir pemerintahan Jokowi, ketika sejumlah kebijakan fiskal dibatalkan, termasuk rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan program Tapera. Meskipun tidak ada yang salah dengan keputusan membatalkan kebijakan tersebut, karena itu bentuk pemerintah mendengar aspirasi publik, namun ketika potensi penerimaan turun, belanja negara seharusnya disesuaikan.
Fajry menegaskan bahwa ketidakseimbangan antara penerimaan dan belanja berpotensi memperlebar defisit. Kondisi ini bisa meningkatkan persepsi risiko fiskal, yang terbukti ketika investor asing menarik kepemilikan surat utang pemerintah pada September lalu dan menekan nilai tukar rupiah. Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak mengulang kesalahan kebijakan fiskal sembrono seperti yang dilakukan mantan Perdana Menteri Inggris Elizabeth Truss, yang gagal menjaga keseimbangan antara pemotongan pajak dan pengeluaran negara.
Menurut Fajry, APBN 2025 menghadapi risiko shortfall pajak yang besar. Jika kinerja penerimaan pajak sampai akhir tahun hanya setara dengan capaian beberapa bulan terakhir, maka realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 82,22% dari outlook sepanjang tahun atau shortfall sekitar Rp389,26 triliun. Bahkan jika ada extra effort seperti tahun lalu, penerimaan pajak hanya akan mencapai 85%–88%. Sangat sulit untuk mencapai outlook APBN yang ditetapkan 94%.
Lebih lanjut, target penerimaan pajak dalam APBN 2026 akan semakin tidak realistis. Jika terjadi shortfall pajak melebar pada tahun ini, maka pemerintah harus menambah penerimaan sekitar Rp557,66 triliun atau naik 30,98% agar sesuai dengan target pada tahun depan.
Fajry juga menyampaikan kekhawatiran terkait lemahnya koordinasi di internal pada tahun pertama masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia menilai terlalu banyak ‘kepala’ yang tidak terkontrol, bahkan sering membuat pernyataan publik yang saling bertentangan. Ada pejabat yang menyalahkan Menteri Keuangan atas kebijakan PPN dan PPh Badan, ada yang mendorong penurunan tarif, dan ada juga yang ingin menggelar amnesti pajak jilid III. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian kebijakan yang tinggi, berdampak pada perilaku dunia usaha yang cenderung menahan investasi. Akibatnya, perekonomian menjadi lesu.





Saat ini belum ada komentar