Politikus PKB: Tidak Ada Frasa Ibu Kota Politik dalam UU Ibu Kota Negara

Penjelasan Mengenai Ibu Kota Politik dalam Peraturan Presiden

DIAGRAMKOTA.COM – Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menegaskan bahwa frasa “ibu kota politik” tidak tercantum dalam Undang-Undang Ibu Kota Negara. Ia menyatakan bahwa frasa tersebut muncul dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah. Hal ini memicu pertanyaan mengenai makna dan implikasi dari frasa tersebut.

Menurut Khozin, dalam UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, fungsi pusat pemerintahan diatur dalam Pasal 12 ayat (1). Ia menekankan bahwa tidak ada frasa “ibu kota politik” yang disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut.

Khozin menyoroti pentingnya klarifikasi terkait penggunaan istilah “ibu kota politik.” Ia mempertanyakan apakah frasa ini merujuk pada pemindahan ibu kota negara secara definitif atau hanya sebagai penamaan semata. Ia juga bertanya apakah istilah “ibu kota politik” sama dengan “ibu kota negara.” Jika demikian, maka akan ada konsekuensi politik dan hukum yang perlu dipertimbangkan.

Ia menyarankan agar pemerintah tidak menggunakan istilah baru yang berpotensi menimbulkan kebingungan di kalangan publik. Menurutnya, jika yang dimaksud adalah pusat pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU Ibu Kota Negara, maka istilah tersebut sebaiknya tidak digunakan.

Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto dan diundangkan pada 30 Juni 2025. Aturan ini merevisi Peraturan Presiden sebelumnya, yaitu Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2024 tentang Rencana Kerja Pemerintah.

Dalam lampiran Perpres tersebut, disebutkan bahwa perencanaan dan pembangunan kawasan, serta pemindahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN), dilakukan sebagai upaya mendukung terwujudnya IKN menjadi ibu kota politik pada tahun 2028.

Beberapa indikator yang harus terpenuhi untuk menjadikan IKN sebagai ibu kota politik antara lain:

  • Luas area kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) IKN dan sekitarnya yang terbangun mencapai 800-850 hektare.
  • Persentase pembangunan gedung atau perkantoran di IKN mencapai 20 persen.
  • Persentase pembangunan hunian atau rumah tangga yang layak, terjangkau, serta berkelanjutan di IKN mencapai 50 persen.
  • Cakupan ketersediaan sarana prasarana dasar kawasan IKN mencapai 50 persen.
  • Indeks aksesibilitas dan konektivitas kawasan IKN menjadi 0,74.

Selain itu, IKN sebagai ibu kota politik pada 2028 juga harus memenuhi syarat jumlah pemindahan dan/atau penugasan aparatur sipil negara (ASN) ke IKN mencapai 1,7 ribu hingga 4,1 ribu orang.

Sementara itu, cakupan layanan kota cerdas kawasan IKN mencapai 25 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki target jangka panjang dalam membangun IKN sebagai pusat pemerintahan yang modern dan efisien.

Penggunaan istilah “ibu kota politik” dalam Peraturan Presiden ini masih menjadi bahan diskusi. Para ahli dan anggota legislatif seperti Khozin menilai bahwa penjelasan lebih rinci diperlukan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *