Tiga Ormas Jatim Bersatu Kawal Keadilan : Jangan Sampai Aparat Hukum Jadi Alat Mafia Tanah!

DIAGRAMKOTA.COM – Rencana eksekusi rumah milik keluarga Tri Kumala Dewi di Jalan Dr. Sutomo No. 55, Surabaya, mendapat penolakan keras dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang concern terhadap keadilan hukum.

Tiga organisasi MAKI Jawa Timur (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia), GRIB Jaya (Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu), dan Cobra 08 menyatakan sikap tegas untuk turun ke lapangan dan melawan bentuk-bentuk dugaan rekayasa hukum yang mereka nilai sebagai kezaliman atas warga sipil yang sah memiliki hak atas rumah tersebut.

“Ini bukan sekadar soal rumah, ini adalah simbol perlawanan rakyat terhadap mafia tanah dan mafia hukum. Bila negara tunduk pada kekuatan surat palsu, maka keadilan benar-benar sudah mati,” tegas Akhmad Miftachul Ulum, Ketua DPD GRIB JAYA Jawa Timur.

Rumah tersebut diketahui telah dihuni sejak tahun 1963, dan diperoleh secara sah dari institusi resmi negara yaitu TNI AL. Tidak hanya itu, pemilik rumah tercatat rutin membayar PBB dan memiliki BPHTB sebagai bukti administratif sah.

Namun kini rumah tersebut terancam dieksekusi berdasarkan SHGB yang telah mati sejak 1980, dan ironisnya dokumen itu digunakan oleh pihak yang kini telah berstatus DPO dan tersangka dalam kasus pemalsuan surat tanah.

Dr. David Andreasmito, Pembina GRIB Jatim, mengungkap bahwa pihaknya sangat mencurigai motif di balik percepatan eksekusi ini. Ia menyebut bahwa pemilik rumah sempat menang hingga tingkat PK dari gugatan sebelumnya, namun kemudian muncul skenario baru yang meragukan.

“Ada rekayasa hukum. Seseorang bernama Rudianto yang telah berstatus DPO, menjual rumah ini ke Handoko. Tidak ada bukti pembayaran, tidak ada penyerahan objek. Tapi hakim bisa dikelabui hanya dengan keterangan sepihak dari notaris,” ujar Dr. David.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa proses eksekusi terkesan dipaksakan setelah pihak yang bersangkutan menolak diperiksa oleh penyidik kepolisian. Bahkan, dijadwalkan ulang hingga tiga kali sebelum akhirnya mengklaim sakit, lalu mendadak muncul surat eksekusi.

“Saya curiga ada permainan waktu. Dia menghindar dari proses hukum demi mendahului eksekusi. Bahkan notaris yang terlibat juga enggan diperiksa. Ini akrobat hukum,” imbuhnya.

Dr. David juga menyerukan agar Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, hingga Presiden RI turun tangan melihat potensi kericuhan jika eksekusi tetap dilanjutkan.

“Saya ingin Pak Presiden tahu: ini rumah milik warga yang sudah tinggal sejak 1963, dibeli sah dari TNI AL, bayar pajak tiap tahun. Sekarang mau dirampas oleh yang tidak pernah bayar sepeser pun. Ini bentuk perampokan legal,” ujar David dengan nada tegas.

Perwakilan MAKI Jawa Timur, Heru Maki, juga menegaskan bahwa upaya ini bukan semata-mata untuk membela pemilik rumah, namun demi menjaga integritas hukum itu sendiri.

“Kami tidak akan diam ketika rakyat ditindas dengan cara-cara licik. Jika aparat negara tidak membela yang benar, maka kami yang akan berdiri di garis depan,” kata Heru lantang.

Ia menyebut praktik ini telah “merendahkan martabat institusi kepolisian dan peradilan” dan menegaskan bahwa pihaknya menunggu validasi akhir dari Mabes Polri yang telah menyatakan Handoko Widjono sebagai tersangka.

“Bayangkan, SHGB mati sejak 1980, tapi bisa jadi dasar eksekusi. Itu sudah cukup jadi alasan penundaan. Kami sudah mengajukan permohonan resmi ke Ketua PN Surabaya,” tegas Heru.

Organisasi Cobra 08, yang dikenal luas sebagai pendukung agenda-agenda rakyat dan anti-ketidakadilan, juga menyatakan siap mengerahkan kekuatan untuk mengawal proses ini.

Mereka menolak framing sepihak yang menyudutkan pihak penolak eksekusi sebagai “preman” atau pengganggu.

“Kami tidak mengenal istilah chaos. Kami ingin keadilan. Jangan sampai aparat hukum menjadi alat mafia tanah. Kalau rakyat dizalimi, kami akan berdiri paling depan,” ujar juru bicara Cobra 08.

MAKI Jatim dan aliansi masyarakat sipil kini tengah menggalang kekuatan menjelang rencana eksekusi ketiga yang dijadwalkan pada 19 Juni 2025. Mereka berharap suara rakyat ini tidak diabaikan dan semua pihak tetap mengedepankan konstitusi.

“Ini perjuangan atas nama kebenaran. Kami sudah melobi kepolisian, Komnas HAM, dan instansi terkait. Jika eksekusi tetap dijalankan, kami siap hadir ribuan orang untuk menghentikannya secara sah dan damai,” tegas Heru MAKI.

“Jika hukum tak lagi adil, maka rakyat yang akan jadi palu kebenaran.” tutupnya. ***