Promeg’96 Jawa Timur Tolak Gelar Pahlawan Soeharto
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Kam, 13 Nov 2025
- comment 0 komentar

Sekretaris Promeg’96 Jawa Timur, Darmanto, menyampaikan orasi kebangsaan di upacara peringatan Hari Pahlawan 10 November
Darmanto: “Memberi Gelar Pahlawan pada Pelanggar HAM Adalah Luka Bagi Korban!”
DIAGRAMKOTA.COM – Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025 di Posko Promeg’96 Jl. Pandegiling Surabaya berlangsung khidmat dan penuh semangat nasionalisme. Acara yang dilanjutkan dengan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa dan Makam Bung Tomo itu menjadi panggung refleksi perjuangan sekaligus ajang penegasan sikap politik dari organisasi Promeg’96, underbow PDI Perjuangan Jawa Timur.
Dalam upacara tersebut, Sekretaris Promeg’96 Jawa Timur, Darmanto, menyampaikan orasi kebangsaan yang sarat pesan moral bagi generasi muda. Ia menegaskan bahwa Hari Pahlawan bukan hanya soal mengenang sejarah, tapi juga menjaga keutuhan nilai perjuangan bangsa.
“Pemuda dan generasi penerus adalah agen perubahan yang harus mampu berinovasi, berkarya, dan menjaga nilai-nilai kebangsaan. Semangat juang para pahlawan harus menjadi pijakan kokoh dalam mengisi kemerdekaan,” ujar Darmanto dengan lantang di hadapan peserta upacara.
Ia menegaskan bahwa generasi muda tidak boleh kehilangan arah di tengah derasnya arus globalisasi. “Kreativitas, inovasi, dan semangat kerja keras harus menjadi identitas pemuda Indonesia. Kita harus menjadi contoh dalam menjaga nilai-nilai luhur bangsa,” lanjutnya.
Namun suasana menjadi tegas dan berapi-api ketika Darmanto menyinggung pemerintah yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Dalam nada keras, ia menyatakan bahwa Promeg’96 menolak keras langkah tersebut, karena dinilai mencederai semangat reformasi dan melukai hati keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.
“Sikap Promeg’96 jelas. Sebagai underbow atau second line PDI Perjuangan, kami satu suara. Ini sangat memprihatinkan. Sesuai TAP MPR No. 11 Tahun 1998, negara harus bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Apakah pantas seorang otoriter pelanggar HAM berat yang berkuasa 32 tahun tanpa proses hukum diberikan gelar pahlawan?” tegasnya.
Darmanto juga menyebut sederet peristiwa kelam di masa kekuasaan Soeharto — mulai dari pasca Gestok 1965, Malari 1974, Tanjung Priok 1984, Kedung Ombo dan Talangsari 1989, Petrus 1983, Kudatuli 1996, hingga tragedi Semanggi dan Trisakti 1998. Semua itu, katanya, masih meninggalkan luka mendalam bagi banyak keluarga korban.
“Mungkin kalau Anda bukan bagian dari keluarga korban akan bergembira jika Soeharto ditetapkan jadi pahlawan. Tapi bagi mereka yang kehilangan keluarga, itu adalah mimpi buruk yang dihidupkan kembali,” ujar Darmanto dengan suara bergetar.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan moral agar pemerintah tidak mengkhianati sejarah dan penderitaan rakyat. “Promeg’96 dengan tegas menolak Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Ini bukan soal politik, tapi soal keadilan dan moral bangsa,” pungkasnya tegas.
Usai upacara dan tabur bunga, para kader Promeg’96 meneriakkan yel-yel penuh semangat:
“Merdeka! PDI Perjuangan Jaya! Mega… Mega… Mega… Yes!” (dk/nw)
