Sembahyang King Hoo Ping: Menghormati Arwah di Bulan 7 Imlek

DAERAH467 Dilihat

DIAGRAMKOTA.COM – Tanggal 1 September 2024 bertepatan dengan tanggal 29 bulan 7 tahun 2575 penanggalan Imlek, MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) Surakarta, melaksanakan sembahyang & doa yang diperuntukkan bagi arwah umum, artinya kepada semua arwah termasuk arwah yang bukan leluhur kita sendiri.

Dan arwah yang tidak lagi mendapat perhatian dari sanak keluarganya yang masih hidup, dikenal dengan upacara Sembahyang King Hoo Ping atau Sembahyang Rebutan yang diselenggarakan di Litang Gerbang Kebajikan MAKIN Jalan. Drs Yap Tjwan Bing no.15 Jagalan, Surakarta.

Menurut legenda pada Jit Gwe (bulan 7 Imlek) pintu akherat dibuka, para arwah diberikan kesempatan untuk turun ke dunia menengok sanak keluarganya, menyambut kehadiran mereka masyarakat Tionghoa khususnya umat Khonghucu diwajibkan melakukan sembahyang pengenangan atau penghormatan kepada mereka.

Yang dilaksanakan tgl 15 bulan 7 Imlek (Jit Gwe PPo) dirumah masing – masing sedangkan di akhir Jit Gwe sebelum para arwah kembali ke alamnya diadakan upacara King Ho Ping untuk menghormati mereka seakan mengantar mereka untuk segera kembali.

MAKIN Surakarta biasanya memilih hari Minggu yang paling akhir dibulan 7 Imlek (1 September 2024). Maka untuk masyarakat Tionghoa yang masih memegang adat tradisional pada Jit Gwe ini ada yang pantang mengadakan kegiatan misalnya mantu, hajatan dan lain sebagainya.

Baca Juga :  Unik, 192 Ekor Ikuti Kontes Domba Kambing Piala Bupati Pasuruan

Karena menganggap bahwa bulan 7 Imlek adalah bulan khusus untuk persembahyangan. dikatakan bahwa sembahyang King Hoo Ping ini juga merupakan sebuah rekomendasi bagi para arvwah, atau setidaknya rasa simpati manusia yang masih hidup kepada mereka yang telah meninggal.

Nabi Khongcu mengajarkan agar kita memperlakukan mereka yang telah tiada atau meninggal “ seperti atau seakan “ orang yang hidup, hendaknya dipahami kata seperti tidak berarti sama, karena bukankah orang yang meninggal itu dahulu pernah menjadi orang (hidup).

Maka pengalaman atau jasa – jasa dan segala kebaikannya sebagai manusia seharusnya tidak dapat atau tidak boleh dilupakan. MAKIN Surakarta sejak puluhan tahun selalu melaksanakan upacara ini.

Dari tahun ke tahun biasanya semakin banyak umat yang hadir, selain menitipkan nama leluhurnya yang ditempel dibelakang altar sembahyang, mereka juga hadir untuk ikut berdoa bersama.

Baca Juga :  Polresta Sidoarjo Gelar Upacara Hari Kesaktian Pancasila 2024

Mereka beriman bahwa dengan melakukan sembahyang kepada lelulur maknanya adalah mengingatkan agar manusia tidak lupa akan sejarahnya atau asal – usulnya, tidak melupakan budi, jasa dan kasih dari leluhurnya.

Dengan dibacakan doa (seolah – olah) para arwah diundang untuk menerima dan menikmati sesajian yang dihidangkan di altar. Upacara sembahyang King Hoo Ping merupakan bentuk pendidikan etika moral dan budi pekerti kepada umat Khonghucu khususnya para generasi muda agar selalu bersedia membantu orang lain.

Selain ada altar Tuhan Y.M.E juga disediakan dua jenis altar sembahyang lainnya, yaitu altar sembahyang umum dan altar Vegetarian yang diperuntukkan untuk menghormat kepada mereka yang semasa hidupnya hidup vegetarian (tidak makan daging).

Upacara dipimpin Ws. Adjie Chandra dengan kedua pendamping, dikuti para rohaniwan lain yang mengenakan jubah berwarna biru dan dihadiri oleh puluhan umat dan simpatisan Khonghucu lainnya.

Sebagai ketua panitia King Hoo Ping tahun ini adalah Js. Novita Luisiana Dewi. SE yang juga ketua WAKIN (Wanita Agama Khonghucu Indonesia) Surakarta dan dibantu oleh ibu – ibu.

Baca Juga :  Kota Surakarta Raih Penghargaan Layanan Investasi Terbaik Kedua

Js. Novita Luisiana Dewi menjelaskan untuk sembahyangan King Hoo Ping tahun 2024 ini ada terkumpul 600 an lebih nama leluhur yang disembahyangkan  Karena memang berbeda untuk tiap tahun nya biasanya keluarga datang untuk nitip nama leluhur yang disembahyangkan.

“Upacara diakhiri dengan penyempurnaan atau pembakaran replika kapal yang didalamnya berisi nama-nama almarhum yang setelah didoakan oleh para rohaniwan nantinya ikut disempurnakan (dibakar) sebagai, suatu lambang dengan sarana transpotasi tersebut kita mengantar agar para roh itu segera kembali ke tempatnya,” sambung Novita.

Menurut Novita karena bulan 7 Imlek akan segera berakhir, sembahyang ini juga disebut sembahyang rebutan karena menurut legenda para arwah yang hadir untuk menikmati sesaji ini sangat banyak sehingga terjadilah saling berebutan.

“Atau juga ada tradisi di daerah yang lain dimana selesai sembahyang sesajinya bisa diambil oleh para peserta sembahyang (kadang terjadi rebutan seperti tradisi ketika gunungan selesai didoakan),” pungkasnya. (dk/chandra)

Share and Enjoy !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *