Administrasi Kesedihan: Realisme Satir dan Dekonstruksi Moral dalam Puisi Alfariezie
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 11 jam yang lalu
- comment 0 komentar

Puisi sebagai Bentuk Kritik Sosial dan Politik
DIAGRAMKOTA.COM – Puisi modern kini tidak lagi terikat pada aturan tradisional seperti rima dan irama. Ia menjadi wadah ekspresi bebas bagi penyair untuk menyampaikan perasaan, keresahan, dan kepedulian terhadap isu-isu sosial, politik, dan moral yang muncul dari realitas sehari-hari. Salah satu bentuk puisi yang menonjol adalah realisme satir, sebuah gaya yang menggabungkan kejujuran dalam menggambarkan realitas dengan sindiran tajam terhadap struktur kekuasaan atau kebijakan yang dianggap menindas.
Salah satu contoh kuat dari puisi realisme satir adalah puisi berjudul “Administrasi Kesedihan” karya Muhammad Alfariezie, seorang penyair asal Bandar Lampung. Puisi ini berasal dari konteks lokal, namun mampu menggambarkan masalah universal: penyalahgunaan kekuasaan dan hilangnya nurani birokrasi.
Konten Puisi “Administrasi Kesedihan”
Dalam puisi ini, penyair menggambarkan Bandar Lampung sebagai kota yang menyedihkan bukan karena adanya kelompok tertentu seperti kaum pelangi atau orang yang tidak suka rapi dan bersih. Namun, kesedihan itu lahir dari kepemimpinan yang gagal menjaga empati dan kepedulian terhadap rakyat. Penyair mengkritik bagaimana pemimpin kota memperlakukan bunda—yang seharusnya melindungi—sebagai ancaman terhadap masa depan remaja pra sejahtera. Selain itu, ia juga menggambarkan bagaimana anggaran publik yang besar justru berubah menjadi tumpukan kertas yang tidak memiliki makna nyata.
Baris-baris pendek dalam puisi ini menciptakan gambaran yang pahit tentang kota yang seharusnya menjadi tempat kemajuan, tetapi justru menjadi tempat ironi akibat kebijakan yang tidak pro-rakyat. Penyair tidak hanya mengkritik sistem, tetapi juga menunjukkan bagaimana kebijakan tersebut memengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung.
Kerangka Teori: Realisme Satire dalam Sastra Modern
Dalam teori sastra, realisme satire digunakan sebagai alat untuk menyingkap kontradiksi sosial dengan cara yang jujur dan kritis. Menurut György Lukács, realisme adalah usaha sastra untuk menampilkan realitas tanpa menyembunyikan keburukan. Sedangkan Jonathan Swift dan George Orwell menunjukkan bahwa satire adalah cara efektif untuk menyindir kekuasaan tanpa kehilangan daya estetika.
Puisi ini menggunakan bahasa lugas dan ironi sebagai senjata moral. Ia tidak bermain di wilayah romantik, tetapi lebih fokus pada realisme sosial-politik yang menggugat kebijakan pemerintah dan struktur kekuasaan yang menindas masyarakat.
Ironi Kepemimpinan dan Dekonstruksi Moral
Kata “bunda” dalam puisi ini bukan sekadar sapaan lembut, tetapi simbol kekuasaan yang seharusnya melindungi. Dalam konteks ini, penyair memutarbalikkan makna “bunda” menjadi ironi yang pahit. Ia menunjukkan bahwa sosok pemimpin perempuan yang idealnya melindungi justru menjadi ancaman terhadap masa depan generasi muda.
Dalam teori dekonstruksi moral, penyair memperlihatkan bagaimana nilai-nilai keibuan dapat diubah menjadi representasi kekuasaan yang menakutkan. Ia tidak menyerang individu, tetapi mengkritik sistem kepemimpinan yang kehilangan rasa kemanusiaan.
Tumpukan Kertas sebagai Simbol Kemandegan Birokrasi
Bait “Menjadikan miliaran rupiah tumpukan kertas tanpa guna!” mencerminkan realisme ekonomi. “Tumpukan kertas” menjadi metafora cerdas bagi sistem birokrasi yang gemuk tapi mandul; penuh laporan, sedikit tindakan. Simbol ini sejalan dengan kritik Karl Marx tentang alienasi sosial, di mana uang dan dokumen menjadi berhala baru yang menjauhkan manusia dari kesejahteraan sejati.
Bahasa Satire Sebagai Perlawanan
Mikhail Bakhtin menyebut satire sebagai bentuk “dialog sosial” antara yang berkuasa dan yang tertindas. Melalui ironi dan permainan makna, penyair memberi ruang bagi suara rakyat kecil untuk berbicara. Puisi ini tidak berteriak dengan amarah, tetapi menohok dengan diam yang tajam—menjadikannya bentuk perlawanan estetis terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan.
Makna Sosial: Kesadaran Kritis Warga Kota
Puisi ini lahir di tengah konteks sosial di mana kebijakan publik seringkali diselimuti jargon moral, namun minim implementasi empatik. Alfariezie tidak hanya menulis untuk “mencaci”, tetapi juga mengajak publik merenungi ulang makna kepemimpinan. Ia menegaskan bahwa kesedihan sebuah kota tidak lahir dari rakyatnya, melainkan dari pemimpin yang abai terhadap suara nurani.
Kesimpulan: Puisi Sebagai Kesadaran Politik dan Moral
Melalui kerangka teori realisme satire, puisi “Administrasi Kesedihan” menegaskan bahwa sastra bukan sekadar seni kata, tetapi juga senjata kesadaran. Bahasa puitik digunakan untuk menggugat, bukan memuja. Ironi menjadi alat pembuka kesadaran publik bahwa kebijakan yang salah arah bisa menimbulkan luka sosial berkepanjangan.
Karya ini merepresentasikan wajah sastra keterlibatan (engagé literature)—di mana penyair turun langsung ke wilayah kritik sosial, mengguncang hati dan pikiran pembacanya. Dan pada akhirnya, ia meninggalkan pesan getir namun jujur: Kota yang menyedihkan bukanlah kota tanpa gedung, melainkan kota tanpa nurani.
Saat ini belum ada komentar