Utang 1,9 Triliun Pemkot Surabaya: Jangan Sampai Bernasib “Whoosh”
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Jum, 24 Okt 2025
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM — Redaksi Diagram Kota bukan sedang menuduh, tapi izinkan kami bertanya : Apakah pinjaman Rp1,59 triliun Pemkot Surabaya untuk Jalur Lingkar Barat dan proyek sejenis akan berlari sekencang “Whoosh” Jakarta–Bandung — atau justru tersendat di stasiun akuntabilitas?
Pertanyaan ini wajar. Sebab, sejak wacana pinjaman daerah itu muncul dalam rancangan APBD 2026, publik belum disuguhi penjelasan gamblang dari Wali Kota Eri Cahyadi. Yang terdengar justru gema seremonial, bukan kejelasan tenor, bunga, maupun mekanisme pengembalian utang rakyat yang “dipinjam atas nama pembangunan”.
Padahal, tak lama sebelumnya, Pemkot Surabaya juga telah mencatat pinjaman senilai lebih dari Rp500 miliar dari Bank Jatim dalam APBD Perubahan 2025. Kini, dengan rencana utang Rp1,59 triliun lagi, Surabaya tampak seperti sedang menapaki jalur cepat—namun tanpa papan petunjuk arah ke mana uang itu akan berhenti.
“Rakyat berhak tahu akadnya, tenor, hingga mekanisme pembayarannya. Apakah Pak Wali Kota bersedia mempublikasikan secara terbuka kepada publik?” tegas Imam, salah satu anggota DPRD yang menginterupsi rapat paripurna dengan nada tajam beberapa hari lalu.
Suasana sidang sempat riuh. Imam mengingatkan, interupsinya bukan sekadar politis, tapi bentuk tanggung jawab moral.
“Transfer dari pusat turun sekitar Rp730 miliar, sehingga Pemkot memilih berutang. Tapi jangan sampai beban publik makin berat hanya karena gaya hidup pemerintahan yang gemar seremonial,” ujarnya, usai rapat.
Nada serupa datang dari M. Annis Saumiyanto, Ketua Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) Surabaya. Ia menilai langkah Pemkot mengambil pinjaman besar tanpa membuka detail ke publik sebagai pelanggaran terhadap prinsip good governance dan etika pemerintahan sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
“Kalau kebijakan publik disorot, pejabat harus tampil menjelaskan, bukan menghindar. Jangan menunggu DPRD atau publik menekan dulu baru bicara. Kalau benar pinjam uang untuk rakyat, ya jangan tutup-tutupi,” tegas Andhonk, sapaan akrabnya.
Ia menyindir gaya kepemimpinan Eri Cahyadi yang kerap menonjolkan transparansi dan gotong royong, tetapi menjadi redup ketika berbicara soal keuangan publik.
“Wali kota itu pemegang kebijakan, bukan penonton sidang. Kalau sudah bicara triliunan rupiah, tanggung jawab moralnya juga triliunan. Jangan cuma hadir di baliho, tapi absen di transparansi,” sindirnya tajam.
Dalam catatan redaksi, dokumen RAPBD 2026 memang mencantumkan skema “pembiayaan alternatif” sebesar Rp1,59 triliun untuk menutup defisit akibat turunnya dana transfer pusat. Namun hingga kini, publik belum bisa mengakses detail perjanjian pinjaman, bunga, dan sumber pelunasannya.
Andhonk pun mengingatkan, TAP MPR VI/2001 menegaskan: “Pejabat negara yang kebijakannya menimbulkan keresahan masyarakat wajib mundur, meskipun belum ada pelanggaran hukum.”
“Etika publik itu bukan barang pameran. Kalau kebijakan dipersoalkan, buka datanya, jelaskan risikonya. Kalau salah arah, koreksi. Jangan defensif,” tambahnya.
Ia juga menyinggung paradoks yang sering muncul di pemerintahan kota: hemat untuk rakyat, boros untuk panggung.
“Pembangunan tak bisa ditutup dengan banner bertuliskan Gotong Royong. Kalau rakyat disuruh hemat, pemerintah juga harus puasa seremonial,” ujar Annis dengan nada sinis.
Redaksi menilai, kegelisahan publik ini bukan tentang anti-pembangunan. Justru sebaliknya: rakyat Surabaya ingin pembangunan berjalan dengan kepala dingin dan perut kenyang — bukan dengan tagihan bunga yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Apalagi pengalaman proyek-proyek besar di negeri ini sudah cukup menjadi cermin.
Lihat saja Whoosh Jakarta–Bandung: megah, berkecepatan tinggi, tapi masih tersandung soal beban keuangan dan keberlanjutan. Jangan sampai Surabaya punya versi “Whoosh” sendiri — cepat membangun, lambat membayar, dan akhirnya rakyat yang menanggung.
Maka, sebelum melaju terlalu jauh, baiknya Pemkot menyalakan lampu penerangan di jalur utangnya sendiri.
Transparansi bukan sekadar formalitas laporan, tapi fondasi kepercayaan publik. Karena yang dipinjam bukan uang pribadi, melainkan kepercayaan warga Surabaya.
Redaksi hanya ingin mengingatkan satu hal: utang boleh dicicil, tapi integritas tidak.
Penulis : Nawi
