RTKD 2025: Saat Surabaya Bicara Keterbukaan, Tapi Data Masih Terkunci
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sel, 21 Okt 2025
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM — Peringatan Right to Know Day (RTKD) 2025 di Surabaya kembali dihiasi dengan jargon besar: “Satu Informasi Seribu Manfaat.” Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) bersama Komisi Informasi (KI) Jawa Timur menyebut kegiatan ini sebagai bukti komitmen terhadap keterbukaan publik. Namun, pertanyaannya: seberapa jauh komitmen itu benar-benar terwujud dalam praktik birokrasi sehari-hari?
Di tengah rangkaian acara, Plt. Kepala Dinkominfo Kota Surabaya, Muhamad Fikser, menyampaikan bahwa keterbukaan informasi publik (KIP) bukan sekadar slogan, melainkan filosofi baru Pemkot.
“KIP, seperti akses data anggaran, program kesehatan, pendidikan, hingga proyek infrastruktur, memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan mengawasi kinerja pemerintah. Dalam konteks Surabaya, KIP bukan hanya kewajiban hukum, melainkan investasi penting yang mendukung visi kota cerdas dan berdaya saing global,” tegas Fikser.
Pernyataan itu memang terdengar idealis. Namun di lapangan, banyak warga dan jurnalis yang justru menghadapi kesulitan saat mengakses data publik. Misalnya, dokumen anggaran detail (DPA), laporan penggunaan belanja, hingga hasil evaluasi proyek kerap tidak tersedia secara daring atau diperoleh dengan prosedur berbelit-belit.
Padahal, jika Surabaya benar-benar ingin menjadi Smart City berkelas dunia, transparansi data seharusnya tidak berhenti di ruang seminar atau perayaan tahunan. Akses informasi publik adalah prasyarat utama agar warga dapat berpartisipasi dan menilai kinerja pemerintah secara objektif.
Lebih jauh, Pemkot menyebut keterbukaan informasi sebagai bagian dari budaya birokrasi baru. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa budaya tersebut belum sepenuhnya mengakar. Banyak OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang masih menutup diri terhadap permintaan informasi, berdalih “belum siap” atau “perlu izin pimpinan”.
Fikser memang menekankan optimisme bahwa keterbukaan akan memperkuat fondasi Smart City dan kesejahteraan rakyat.
“Pemkot Surabaya optimistis bahwa dengan menjadikan keterbukaan informasi sebagai budaya, sebagaimana termaktub dalam tema Satu Informasi Seribu Manfaat, Kota Pahlawan tidak hanya akan memperkuat fondasi Smart City dan Kota Global, tetapi juga mewujudkan visi Asta Cita menuju kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Namun tanpa reformasi serius dalam mekanisme publikasi data—terutama anggaran, pengadaan barang/jasa, dan evaluasi proyek—tema RTKD 2025 berisiko menjadi sekadar slogan tahunan.
Pernyataan dari perwakilan KI Jatim pun seolah menegaskan masih adanya celah besar antara idealisme dan kenyataan.
“Adanya sengketa informasi yang kami terima mencerminkan meningkatnya kesadaran publik terhadap hak atas informasi, dan hal ini kami respons dengan komitmen untuk menghadirkan pelayanan yang lebih cepat, transparan, dan berkualitas,” ujar perwakilan KI Jatim.
Peningkatan sengketa informasi seharusnya dibaca bukan hanya sebagai tanda kesadaran publik, tetapi juga sebagai sinyal bahwa masih banyak lembaga pemerintah yang belum konsisten dalam menjalankan prinsip keterbukaan.
RTKD memang penting sebagai momentum refleksi, tetapi refleksi itu akan hampa jika Pemkot tidak menindaklanjuti dengan langkah konkret: membenahi portal data publik, menyederhanakan mekanisme permohonan informasi, dan memastikan semua OPD tunduk pada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Tanpa itu, komitmen keterbukaan hanya akan menjadi gema di ruang seminar—bukan praktik nyata dalam tata kelola pemerintahan Kota Pahlawan.
Penulis: Nawi




