DIAGRAMKOTA.COM – Robert Monata, seorang konsumen perumahan di Surabaya, melayangkan gugatan hukum terhadap pengembang PT Jo Citraland. Ia merasa sangat dirugikan setelah kehilangan hampir seluruh dana yang telah dibayarkannya selama dua tahun karena gagal membayar cicilan rumah selama tiga bulan, Rabu, (06/08/25).
Robert mengungkapkan bahwa ia telah menyetorkan uang sekitar Rp900 juta, terdiri dari uang muka dan cicilan rumah, selama dua tahun terakhir. Namun setelah mengalami keterlambatan pembayaran cicilan senilai Rp25 juta, ia justru harus menerima kenyataan pahit: hak atas rumahnya dicabut, dan uang yang dikembalikan hanya Rp50 juta.
“Saya sudah dua tahun mencicil, semua totalnya hampir Rp900 juta. Tapi karena terlambat bayar tiga kali, uang saya hangus dan cuma dikembalikan Rp50 juta. Ini tidak adil,” ujar Robert.
Merasa dirugikan, Robert melalui kuasa hukumnya Dino Wijaya, S.H., mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Pihaknya menilai adanya klausula baku dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang menjadi akar dari kerugian yang dialami kliennya.
“Klausula baku yang dicantumkan oleh developer jelas bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Klien kami tidak punya pilihan selain menandatangani perjanjian sepihak tersebut,” jelas Dino.
Dino menambahkan bahwa dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang berpotensi menghilangkan hak-hak konsumen. Dalam kasus ini, developer dianggap tetap mencantumkan klausula semacam itu dan menggunakannya sebagai dasar untuk tidak mengembalikan uang secara utuh kepada Robert.
“Yang diminta klien kami pun sederhana. Ia tidak menuntut rumahnya kembali. Ia hanya ingin uangnya yang sudah dibayarkan itu dikembalikan secara penuh,” lanjut Dino.
Kasus ini menambah daftar panjang sengketa konsumen di sektor properti, khususnya dalam perjanjian yang tidak seimbang antara pembeli dan pengembang. Gugatan ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap konsumen properti, sekaligus memberi efek jera bagi pelaku usaha yang mencantumkan klausula merugikan dalam kontrak.
Proses persidangan saat ini masih berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya. Publik pun menanti bagaimana pengadilan akan menilai praktik kontraktual yang kerap dianggap memberatkan konsumen. (dk/nns)