*Oleh: AGUNG HARI MP3 [Masyarakat Peduli Pelayanan Publik]
DIAGRAMKOTA.COM – Di balik megahnya gedung parlemen lokal, yang dihuni Wakil Rakyat. Ada kenyataan getir yang sulit diabaikan: banyak anggota dewan lebih sibuk menyusun kalimat apresiasi ketimbang menjalankan fungsi pengawasan. Rapat-rapat strategis yang seharusnya menjadi ruang evaluasi kebijakan justru diwarnai puja-puji terhadap kinerja pemerintah kota, meskipun sejumlah indikator publik menunjukkan kemunduran.
Apakah para wakil rakyat ini lupa pada mandat konstitusi yang melekat pada jabatannya?
Tugas dewan tidaklah ringan. Tiga fungsinya—legislasi, penganggaran, dan pengawasan—adalah fondasi demokrasi. Jika salah satunya lumpuh, maka relasi kekuasaan jadi timpang. Pemerintah daerah bisa berjalan tanpa kendali, dan masyarakat kehilangan pembela sejati di ruang-ruang pengambilan keputusan.
Namun kini, fungsi pengawasan justru paling sering diabaikan. Ketika laporan keuangan menunjukkan kerugian lembaga publik, saat pelayanan dasar mandek, atau ketika program gagal tepat sasaran, dewan yang seharusnya bertanya “kenapa bisa begini?” malah berlomba menyampaikan “kami mengapresiasi kerja keras Pemkot.”
Apresiasi itu penting, tetapi bukan tameng untuk menutup mata dari persoalan. Demokrasi bukan panggung seremonial, dan dewan bukan penonton di barisan depan. Mereka adalah garda terdepan penjaga akuntabilitas. Jika kritik dan koreksi tak lagi hadir, publik patut bertanya: untuk siapa mereka bekerja?
Mereka yang hanya duduk diam, mengangguk dalam rapat, dan pulang tanpa catatan, sejatinya tak sedang mewakili rakyat—mereka hanya mewakili dirinya sendiri. Ketiadaan daya kritis bukan sekadar kelemahan, tapi pengkhianatan terhadap amanah.
Maka, jika dewan tak lagi berani mengoreksi pemerintah kota, jika mereka hanya bisa menjadi pengagum kebijakan tanpa menguji kebermanfaatannya, maka lebih baik mereka mundur. Rakyat tak butuh wakil yang hanya hadir dalam daftar absensi. Rakyat butuh suara yang lantang, keberanian yang nyata, dan integritas yang tak dibungkam demi kenyamanan politik.
Surabaya layak mendapat dewan yang tajam, bukan yang tajem (diam). Kalau tak sanggup mengawal, minggir saja. Masih banyak anak muda dan warga kritis yang siap menggantikan. *