Mendorong Transisi Energi Adil dan Berkelanjutan
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 19 jam yang lalu
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM – Keraguan terhadap komitmen transisi energi Indonesia masih ada karena berbagai hal, seperti penurunan target energi terbarukan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan rencana PT PLN yang tetap menambah kapasitas pembangkit bahan bakar fosil, khususnya batubara dan gas.
Kebijakan yang dianggap tidak sejalan dengan komitmen iklim global serta minimnya pencapaian investasi energi terbarukan semakin memperkuat keraguan tersebut. Sayangnya, RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang menjadi harapan untuk memberikan kejelasan arah dan fokus pengembangan energi bersih sebagai pendorong transisi energi di Indonesia masih mengambang tanpa kepastian.
Pada dasarnya, RUU EBT termasuk dalam program legislasi nasional jangka menengah 2025. Sebelumnya, pembahasan RUU inisiatif DPR ini telah berlangsung di Komisi VII pada tahun 2024, tetapi belum sampai pada tahap pengesahan. Pemerintah mengharapkan RUU EBT diselesaikan oleh legislatif, sementara pemerintah lebih fokus pada pencapaian target yang ditetapkan dalam APBN.
“RUU ini inisiatif DPR. Jika ingin maju, maju saja. Jangan jadikan seperti bola pingpong. Saya fokus menjalankan perintah Presiden Prabowo dan mencapai KPI yang telah ditetapkan,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dalam rapat kerja dengan Komisi XII DPR pada Selasa (11/11/2025).
Jawaban tersebut merespons pernyataan anggota Komisi XII DPR RI, Dipo Nusantara Pua Upa, yang menyoroti pentingnya menyelaraskan regulasi sektor energi agar sesuai dengan agenda transisi energi dan target emisi nol bersih pada tahun 2060. Legislator menganggap aturan berupa undang-undang sangat penting sebagai dasar kebijakan yang jelas dan terarah.
Dipo mempertanyakan peran Biro Hukum Kementerian ESDM dalam menyusun kebijakan yang mendukung transformasi energi, termasuk penyusunan peta jalan penyesuaian regulasi untuk mempercepat investasi energi terbarukan. Jelasnya, ketidakpastian regulasi terkait energi terbarukan ini secara tidak langsung memengaruhi target transisi energi Indonesia yang masih jauh dari capaian.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2025, komposisi energi terbarukan baru mencapai sekitar 13,2 persen, yang belum mampu mencapai target sebesar 23% dalam periode yang sama. Keadaan ini mendorong pemerintah untuk mempercepat investasi serta melakukan reformasi kebijakan di sektor energi agar dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 34,3% pada tahun 2034.
Di sisi lain, hasil penelitian terbaru Perkumpulan Inisiatif menunjukkan bahwa rata-rata investasi di subsektor EBTKE pada periode 2020-2024 mencapai US$ 1,57 miliar, lebih rendah dibandingkan subsektor migas yang mencapai US$ 15,06 miliar dan minerba sebesar US$ 5,93 miliar. Namun, pendapatan negara dari pungutan produksi batubara masih jauh dari potensi yang ada. Dalam kurun waktu 2020-2024, rata-rata pendapatan batubara mencapai Rp 86,26 triliun per tahun, sedangkan potensi penerimaan negara dari batubara bisa mencapai Rp 353,7 triliun per tahun.
Sementara rata-rata pengeluaran program energi terbarukan di Kementerian ESDM hanya sekitar 14,5% dari total anggaran kementerian tersebut, angka ini masih lebih rendah dibandingkan pengeluaran untuk program migas dan batubara yang mencapai 32,61%. Di sisi lain, tercatat bahwa pengeluaran subsidi fosil masih cukup tinggi.
Selama periode 2019-2024, rata-rata pendapatan energi mencapai Rp 281,83 triliun per tahun, sedangkan pengeluaran subsidi fosil mencapai Rp 161,35 T per tahun atau sebesar 6,44% dari total anggaran negara. “Sementara subsidi untuk energi terbarukan (panas bumi) hanya sekitar 0,1% dari keseluruhan belanja negara,” kata Dadan Ramdan, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Inisiatif, dalam penyampaian hasil studi mengenai kebijakan fiskal/APBN 2020-2025 dan kewenangan pemerintah serta pemerintah daerah dalam proses transisi energi di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Berdasarkan pendapat Dadan, pendapatan negara dari sektor energi berasal dari pajak dan PNBP migas, PNBP minerba, serta PNBP panas bumi. Rata-rata pendapatan negara dari sektor energi mencapai Rp 281,83 triliun atau 11,36% dari total rata-rata pendapatan negara. Dari jumlah tersebut, pendapatan energi terbesar berasal dari migas dengan kontribusi rata-rata sebesar 69,48% dari total pendapatan energi, yaitu sekitar Rp 191,18 triliun per tahun.
Persentase pendapatan energi tertinggi mencapai 79,59% pada tahun 2020 dan terendah sebesar 61,80% pada tahun 2023. Persentase pendapatan energi terbesar kedua berasal dari pertambangan, yaitu sebesar Rp 86,26 triliun atau 30,60% dari rata-rata total pendapatan energi. “Pendapatan dari energi terbarukan hanya berasal dari panas bumi sebesar 1,22% dari total pendapatan energi dan sekitar 0,12% dari total pendapatan negara,” ujarnya.
Ahmad Gunawan, peneliti dari Inisiatif, memberikan catatan bahwa pendapatan migas berasal dari pajak dan PNBP, sedangkan batubara (minerba) hanya berasal dari PNBP. “Ini menunjukkan perbedaan penguasaan negara terhadap migas dan batubara atau minerba,” tegasnya.
Gunawan menyatakan, pendapatan pajak dari sektor pertambangan mineral, khususnya batubara, belum mencapai potensi maksimal. Salah satu penyebabnya adalah banyak perusahaan tambang batubara yang tidak melaporkan pajak mereka. Di sisi lain, masih banyak tambang ilegal yang beroperasi, sehingga pemerintah tidak mampu memungut pajak darinya. “Pada periode 2020-2024, rata-rata pendapatan batubara mencapai Rp 86,26 triliun per tahun, sementara potensi penerimaan negara dari batubara bisa mencapai Rp 353,7 triliun per tahun jika mengacu pada hasil studi Yayasan Sustain,” katanya.
Dari sudut pandang kebijakan insentif dan disinsentif fiskal, Dadan menyampaikan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara energi fosil dengan energi terbarukan secara langsung dalam regulasi atau kebijakan insentif dan disinsentif fiskal yang ada. Meskipun demikian, terdapat indikasi dalam PMK No. 103/2023 dan UU No. 7/2021 mengenai HPP.
Memang, terdapat indikasi insentif dan disinsentif fiskal dalam pengembangan energi terbarukan melalui regulasi atau kebijakan seperti penghapusan PPN dan PPh Badan bagi pelaku usaha energi terbarukan, serta penghapusan PPN untuk impor atau bea masuk barang terkait panas bumi.
Hanya saja, menurut Dadan, belum ditemukan aturan yang secara jelas bertindak sebagai penghalang bagi energi fosil meskipun terdapat indikasi adanya penghalang pada sektor batu bara terkait pajak karbon seperti yang diatur dalam UU No.7/2021. “Jadi, belum ada peraturan pelaksana atau peraturan pemerintah mengenai pajak karbon, yang mencakup penambahan objek pajak karbon, subjek pajak karbon, alokasi penerapan pajak karbon untuk perubahan iklim, hingga tarif pajak karbon,” jelasnya.
Berdasarkan hal tersebut, Dadan menilai, keberhasilan Indonesia dalam menjalankan komitmen transisi energi yang adil dan berkelanjutan perlu diperkuat melalui kebijakan fiskal serta pembagian wewenang antar pemerintahan yang adil dan jelas dalam pengelolaan energi terbarukan.
Di sisi kebijakan fiskal (APBN) diperlukan inovasi kebijakan fiskal yang adil dan berkelanjutan mampu memaksimalkan potensi pendapatan negara dari sumber energi fosil guna mendanai peralihan energi tanpa bergantung pada utang.
Dalam hal wewenang, diperlukan adanya wewenang yang lebih adil dan jelas dari pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten/kota dalam mengelola energi terbarukan, yang menjadi faktor penting dalam mendukung percepatan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.
Berdasarkan kajian kebijakan fiskal, Inisiatif Association menemukan fakta-fakta yang mengungkapkan masalah terkait regulasi. Hal ini terlihat dari masih kuatnya wewenang pusat, serta lemahnya kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola energi terbarukan, termasuk dalam hal penghapusan izin, tarif, dan harga (UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU 01/2020 Cipta Kerja).
Selanjutnya, ketidakjelasan kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola energi terbarukan skala kecil dan menengah dalam Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2023 mengenai urusan pemerintahan yang relevan di bidang energi pada sub bidang energi terbarukan, serta kurangnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan energi terbarukan (UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah)
Berdasarkan temuan terkait kebijakan fiskal dan kewenangan, Inisiatif Komunitas menyarankan kebijakan fiskal dan kewenangan pertama, serta mengajak Kementerian Keuangan untuk menerbitkan peraturan/kebijakan fiskal yang bertujuan meningkatkan persentase pendapatan batubara dalam nomenklatur pendapatan pemerintah dari keuntungan bersih pemegang IUPK dan IUP minerba dari 4% menjadi 10%.
Kedua, mengajak Kementerian ESDM untuk menetapkan kebijakan earmarking pendapatan PNBP migas dan minerba sebesar Rp 232 triliun setiap tahun guna pendanaan atau pengeluaran dalam pengembangan energi terbarukan. Kementerian ESDM dapat memberikan prioritas pada penganggaran untuk survei potensi sumber energi terbarukan hingga tingkat desa dengan keterlibatan aktif pemerintah daerah dan desa. Selain itu, earmarking ini juga digunakan untuk pengeluaran subsidi energi terbarukan serta pendanaan investasi energi terbarukan yang berbasis sumber daya lokal.
Ketiga, mendorong Kementerian ESDM dan Kemendagri untuk memperkuat serta menentukan wewenang daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam pengelolaan energi terbarukan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan istilah energi terbarukan dari sub urusan menjadi urusan. Di masa depan, terdapat dua urusan energi, yaitu urusan energi fosil dan urusan energi terbarukan. Rekomendasi ini selaras dengan momentum revisi UU Pemerintah Daerah. ***





Saat ini belum ada komentar