Presiden Prabowo Subianto Hadir di Sidang Umum PBB, Momen Bersejarah dalam Tradisi Diplomasi Keluarga
DIAGRAMKOTA.COM – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, akan berpidato dalam Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digelar di New York, Amerika Serikat pada Selasa, 23 September. Kehadiran Presiden Prabowo dalam forum internasional ini menjadi momen penting dan bersejarah, mengingat ia mengulang jejak perjuangan diplomasi ayahnya, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), menilai bahwa kehadiran Presiden Prabowo di PBB merupakan kelanjutan dari tradisi keluarga pejuang diplomasi. Ia menyampaikan harapan bahwa Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkuat multilateralisme. “Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujarnya.
Prof. Sumitro pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada periode 1948–1949, masa yang sangat menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia dan posisinya di dunia. Salah satu kiprah diplomatik paling monumental yang dicatat oleh Sumitro adalah pengiriman memorandum dari Kantor Perwakilan RI di PBB kepada Pejabat Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett.
Memorandum tersebut kemudian dimuat di The New York Times pada 21 Desember 1948, yang mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman terhadap upaya membangun ketertiban dunia. Agresi itu juga dianggap sebagai pelanggaran keras terhadap Perjanjian Renville serta perundingan lain antara Indonesia dan Belanda, sekaligus mencederai legitimasi PBB.
Selain itu, Sumitro melakukan berbagai upaya diplomatik, termasuk membangun dukungan dari negara-negara Asia. Pada pertemuan di India, Januari 1949, ia berhasil menggalang solidaritas negara-negara Asia untuk menghentikan agresi Belanda dan menuntut pembebasan para pimpinan Republik.
Puncaknya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dino menilai bahwa pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum ke-80 PBB akan membawa angin segar di tengah merosotnya semangat multilateralisme global. “Multilateralisme di mana-mana kini sedang dalam kondisi terpuruk,” kata mantan Duta Besar RI untuk AS itu.
Hamdan Hamedan, Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah, menekankan makna strategis dalam pidato Presiden Prabowo di Sidang PBB nanti. Presiden Prabowo dijadwalkan berbicara di urutan ketiga, setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat.
“Pada saat ruangan penuh, atensi dunia tertuju, dan pesan yang disampaikan dapat membentuk nada serta arah diskusi utama dalam Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB,” ujar Hamdan di Jakarta, Jumat (19/9).
Setelah 10 tahun absen, Presiden Indonesia akhirnya kembali hadir di panggung utama dunia. Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai bangsa besar yang aktif di garis depan diplomasi internasional.
“Ini merupakan penampilan langsung Presiden Indonesia di forum UNGA setelah lebih dari satu dekade, menjadi momentum penting yang menegaskan peran Indonesia di garis depan diplomasi internasional serta komitmen terhadap penguatan multilateralisme,” pungkas Hamdan.