MK Menolak Kewajiban Gelar Sarjana untuk Capres Cawapres dan Kepala Daerah
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sel, 30 Sep 2025
- comment 0 komentar
Putusan MK Mengenai Syarat Pendidikan Calon Pejabat Publik
DIAGRAMKOTA.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru mengungkapkan kembali isu mengenai syarat pendidikan minimal bagi calon presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah. Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa syarat pendidikan minimal tetap berlaku sebagai lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Hal ini menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang warga negara dengan harapan agar syarat pendidikan dinaikkan menjadi sarjana strata satu (S-1).
Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pleno di Gedung MK pada Senin 29 September 2025, menyatakan bahwa permohonan tersebut ditolak seluruhnya. Ia membacakan amar putusan Nomor 154/PUU-XXIII/2025 dengan tegas. Putusan ini mengakhiri perdebatan panjang mengenai kualifikasi pendidikan para pemimpin nasional.
Gugatan Pemohon
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Hanter Oriko Siregar, seorang warga yang menggugat beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Pasal-pasal yang digugat antara lain Pasal 169 huruf r, Pasal 182 huruf e, dan Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu, serta Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada. Hanter berpendapat bahwa syarat pendidikan SMA sederajat tidak cukup untuk menjamin kualitas kepemimpinan nasional dan mengusulkan peningkatan ke jenjang S-1.
Namun, MK tidak sependapat dengan argumen tersebut. Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa isu ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, gugatan serupa juga pernah diajukan oleh pemohon yang sama dan telah diputus dalam Putusan Nomor 87/PUU-XXIII/2025.
Kebijakan Hukum Terbuka
Ridwan Mansyur menegaskan bahwa syarat pendidikan termasuk dalam wilayah kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Artinya, kewenangan untuk menetapkan atau mengubah syarat pendidikan calon pejabat publik berada di tangan pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama pemerintah. MK menilai bahwa penentuan syarat pendidikan bukan ranah yudikatif. Oleh karena itu, tidak ada alasan konstitusional yang mendesak untuk mengubah sikap tersebut.
“Dengan demikian, syarat pendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas atau yang sederajat bagi calon presiden dan calon wakil presiden masih berlaku norma yang sama,” ujar Ridwan.
Hak Konstitusional Warga
MK juga menilai usulan menaikkan syarat pendidikan justru berpotensi membatasi hak demokrasi warga negara. Menurut hakim, mengharuskan ijazah S-1 akan menutup kesempatan bagi warga negara yang kompeten namun tidak memiliki gelar sarjana. Perubahan syarat menjadi lulusan sarjana dapat mempersempit peluang warga negara untuk mencalonkan diri atau dicalonkan. Hal ini bertentangan dengan prinsip hak politik yang dijamin UUD 1945.
Aturan saat ini tidak menghalangi siapa pun dengan pendidikan lebih tinggi untuk maju dalam kontestasi politik. MK menekankan bahwa keberhasilan memimpin tidak hanya ditentukan oleh jenjang pendidikan formal, melainkan juga integritas, kapasitas, dan pengalaman.
Penolakan untuk Semua Tingkatan
Logika hukum serupa juga digunakan Mahkamah untuk menolak gugatan terhadap syarat pendidikan bagi caleg DPR, DPD, DPRD, serta calon kepala daerah. Meski subjek yang diatur berbeda, norma yang dipersoalkan tetap sama, yakni terkait batas minimal pendidikan.
Dengan putusan ini, perdebatan panjang soal kualifikasi pendidikan pemimpin nasional resmi berakhir. MK menegaskan posisi hukumnya bahwa syarat minimal SMA sederajat tetap berlaku hingga ada kebijakan baru dari DPR dan pemerintah. Putusan ini sekaligus mempertegas prinsip bahwa hak politik adalah hak konstitusional setiap warga negara yang tidak boleh dibatasi secara berlebihan.
Saat ini belum ada komentar