India bahkan memberikan peran legislatif yang sangat strategis bagi Wakil Presidennya, yakni sebagai Ketua Rajya Sabha (Dewan Tinggi Parlemen), menjadikan posisinya tidak sekadar politis, tetapi juga institusional.
Dalam teori kelembagaan, kita bisa merujuk pada institutional functionalism yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, di mana setiap elemen dalam sistem sosial memiliki fungsi yang harus dijalankan demi menjaga keseimbangan struktur.
Wakil Presiden sebagai bagian dari sistem pemerintahan seharusnya mengisi fungsi koordinasi, penyeimbang, dan katalisator, bukan hanya pengamat atau simbol pelengkap. Ketika fungsi ini kosong, maka negara berjalan pincang, bahkan berisiko mengalami stagnasi kebijakan di tengah krisis.
Dengan belajar dari figur-figur di atas, warga negara Indonesia memiliki ekspektasi yang sah untuk menginginkan sosok Wakil Presiden yang aktif, berpikir strategis, dan berani mengambil peran—bukan sekadar menjalankan seremoni tanpa substansi.
Ekspektasi ini semakin relevan di tengah memuncaknya perang dagang global. Warga negara Indonesia membutuhkan kehadiran nyata dari Wakil Presiden dalam merancang strategi penyelamatan ekonomi nasional dari dampak krisis global.
Ia diharapkan mampu mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi industri domestik, menangani korban PHK secara tuntas, dan membuka lapangan kerja baru yang berkelanjutan.
Wapres Simbolisme Tanpa Substansi
Wajah Wakil Presiden hari ini tampak seperti potret politik simbolik yang kehilangan substansi. Ia hadir, terlihat, namun tak berdampak. Dalam lanskap politik yang menuntut kehadiran nyata pemimpin untuk menjawab krisis, keberadaan Wakil Presiden justru larut dalam seremoni dan simbolisme belaka.
Padahal, negeri ini tengah dilanda badai krisis multidimensi. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meluas, para pengemudi ojek daring diperas tenaganya dalam ekosistem digital yang minim perlindungan sosial, sementara buruh bergulat dalam tekanan ekonomi yang menghimpit, hidup bak “Senin-Kamis” tanpa kepastian hari esok.
Di sisi lain, pabrik-pabrik berguguran satu demi satu, nilai tukar rupiah melemah, indeks saham merosot, dan ekonomi rakyat kelas menengah ke bawah kian terjerembap ke dalam jurang ketidakpastian yang dalam.
Dalam situasi seperti ini, rakyat tidak menanti seremoni atau pencitraan. Mereka menuntut arah yang jelas, solusi yang nyata—bukan acara seremonial yang hampa makna.