Pusaka Gong Kiai Pradah Penakluk Angkernya Hutan Lodoyo Blitar

Diagram Kota BlitarRitual jamasan Gong Kiai Pradah telah menjadi salah satu warisan budaya dari Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Legenda gamelan tersebut menjadi cerita tutur yang mengakar dalam budaya wilayah Mataraman dan berkembang hingga kini.

Legenda Gong Kiai Pradah bersumber dari buku ‘Upacara Tradisional Siraman Gong Kiai Pradah di Kabupaten Dati II Blitar Cabang Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah T1ngkat I Jawa Timur di Madiun, 1995.

Dikutip dari cerita Babat Pusaka Kiai Pradah di Lodoyo menurut Serat Babat Tanah Jawi, antara tahun 1704 – 1719 Masehi di Surakarta bertahtalah seorang Raja bernama Sri Susuhunan Paku Buwono I. Raja ini mempunyai saudara tua yang lahir dari istri ampeyan (bukan Permaisuri) bernama Pangeran Prabu.

Pangeran Prabu sangat kecewa karena sebagai saudara tua Pangeran Prabu tidak dinobatkan sebagai Raja di Surakarta. Sehingga timbullah keinginannya untuk membunuh Sri Susuhunan Paku Buwono I. Namun akhirnya keinginan Pangeran Prabu tersebut tercium oleh Sri Susuhunan.

Kemudian untuk menghindari rencana itu,  Pangeran Prabu diperintahkan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono I, untuk membuka hutan di daerah Lodoyo yang pada saat itu merupakan hutan yang sangat lebat yang dihuni oleh binatang-binatang buas. Serta hutan tersebut dianggap sebagai tempat yang sangat angker.

Keberangkatan Pangeran Prabu diikuti oleh istrinya yaitu Putri Wandansari serta abdi kesayangannya bemama Ki Amat Tariman dengan membawa Pusaka berupa bende yang disebut Kiai Becak. Pusaka tersebut akan digunakan untuk tumbal hutan Lodoyo yang dianggap angker serta banyak pertunangan oleh roh-roh jahat.

Baca Juga :  Plt Bupati Subandi Berharap Banyak Bibit Atlet Voli Berprestasi di Sidoarjo

Pangeran Prabu yang masih merasakan penderitaan dan kesedihan itu tidak lama tinggal di rumah janda Nyi Partasuta. Pangeran Prabu ingin bertapa di hutan Pakel (Wilayah Lodoyo bagian barat) dan untuk itu Pusaka Kiai Becak dititipkan kepada Nyi Parasuta dengan pesan agar:

Setiap tanggal 1 Syawal (bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri) dan setiap tanggal 12 Rabiulawal (bertepatan dengan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW) Pusaka tersebut harus dimandikan dengan air bunga setaman. Air bekas memandikan Pusaka tersebut dipercaya masyarakat dapat menentramkan hati bagi siapa pun yang mau meminumnya.

Karena sudah begitu lama Pangeran Prabu bertapa dan tidak kunjung pulag, Ki Amat Tariman sangat kebingungan karena terpisah dengan Pangeran Prabu, sehingga akhirnya Ki Amat Tariman ingin mencoba membunyikan Gong Kiai Becak.

Gong dibunyikan sebanyak tujuh kali dengan maksud agar apabila Pangeran Prabu mendengar bunyi bende/Gong tersebut tentu akan mencari kearah sumber suara itu. Tetapi apa yang terjadi, yang datang bukan Pangeran Prabu seperti yang diharapkan, namun beberapa ekor harimau besar.

Anehnya harimau-harimau itu tidak mengganggu kepada Ki Amat Tariman bahkan harimau-harimau tersebut seajan-akan memberikan petunjuk dimana Pangeran Prabu berada. sehingga sat itulah Kiai Becak juga disebut Kiai Macan (harimau) atau Kiai Pradah.

Baca Juga :  Wisata Air Terjun Dlundung Trawas Mojokerto: Destinasi Alam yang Populer

Setelah Ki Amat Tariman ketemu Pangeran Ptabu, dari Pesanggrahan Pakel Pangeran Prabu menuju kearah barat namun tidak lama berselang mereka bertemu dengan para prajurit-prajurit utusan dari Kerajaan Surakarta yang akhimya timbulnya kelainan dan terjadilah peperangan yang di menangkan oleh Pangeran Prabu.

Setelah dirasa sudah betul-betul aman Pangeran melanjutkan perjalanannya menuju kearah barat yaitu kehutan Keluk yang sekarang di sebut Desa Ngrejo. Di tempat ini Pangeran memangkas rambut dan ditanam bersama-sama dengan mahkota kebangsawanannya.

Tempat penanaman itu sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk sekitar dan sekitarnya. Pangeran Prabu melanjutkan perjalannya menuju hutan Dawuhan. Di tempat itu Pangeran Prabu membuka ladang pertanian dengan menanami padi Gogo.

Namun karena tanahnya pusa sehingga tanaman padi Gogo tersebut tidak dapat dipanen dan akhirnya tempat itu diberi nama Gogowurung. Dari Gagowurung Pangeran prabu  melanjutkan perjalanan menuju kearah timur dan sampailah mereka di hutan Darungan.

Di tempat ini istrinya melahirkan seorang putra namun putra tersebut tidak berumur panjang karena meninggal dunia dan dimakamkan di gunung Pandan disebelah utara gunung bebek.

Perjalanan Pangeran Prabu dilanjutkan lagi menuju kearah timur melewati Jegu dan sampailah di hutan Kedungwungu. Beberapa bulan di tempat ini Nyi Wandansari akhimya mengalami hamil tua.

Oleh Pangeran Prabu Nyi Wandansari diajak naik ke gunung di Kaulon dan disinilah Nyi Wandansari melahirkan putra kembar namun putra kembar tersebut juga tidak berumur panjang dan meninggal dunia.

Baca Juga :  Plt Bupati Subandi Berharap Banyak Bibit Atlet Voli Berprestasi di Sidoarjo

Sementara itu, Nyi Partasuta dimana sepeninggal Pangeran Prabu selalu melaksanakan segala sesuatu yang pernah dipesankan oleh Pangeran Prabu kepadanya tentang Pusaka Kyai Becak.

Setelah Nyi Partasuta meninggal dunia, Pusaka Kyai Becak diserahkan kepada Ki Rediboyo di Ngekul. Dari Ki Rediboyo pusaka Kyai Becak diturunkan kepada Ki Dalang Rediguno di Kepek. Dari Ki Rediguno Pusaka Kyai Becak diturunkan kepada Kyai Imam Sampurno.

Pada suatu ketika, karena Kyai Imam Sampurno dipanggil ke istana Surakarta, maka Pusaka Kyai Becak atau Kyai Pradah diserahkan kepada adiknya bemama Kyai Imam Seco yang berdiam di Sukoanyar (sekarang disebut Desa Sukorejo), yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil Pengulu di Blitar.

Pada tahun 1793 Kyai Imam Seco meninggal dunia dan Kyai Pradah dirawat dan dipelihara oleh Raden Ronggo Kertarejo dan Ditempatkan di Desa Kalipang Lodoyo sampai sekarang.

Bentuk Kyai Pradah berupa Gong (kempul) laras lima yang dahulu dibalut/ditutup dengan sutera Pelangi/Cinde. Sampai sekarang pesan Pangeran Prabu untuk memelihara Pusaka Kyai Pradah tetap dilaksanakan dengan baik serta dikenal dengan Upacara Adat Tradisional Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah setiap tanggal 1 Syawal dan setiap tgl. 12 Rabiulwal. (dk/akha)

*Artikel ini dirangkum dari berbagai sumber dan dikutip dari cerita Babat Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo menurut Serat Babat Tanah Jawi.

Share and Enjoy !

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *