Akrab dan Humor, Menteri Keuangan yang Tidak Suka Berpura-pura

Menteri Keuangan yang Tidak Suka Berpura-pura

DIAGRAMKOTA.COM – Di tengah suasana yang seharusnya serius, suara tawa dan tepuk tangan saling menggema di Bidakara. Forum ini bertujuan untuk membahas transformasi ekonomi nasional, namun justru diisi oleh keakraban dan humor. Pembicara utamanya adalah menteri keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang dikenal tidak mudah menyembunyikan pikirannya.

Purbaya memang memiliki latar belakang akademis yang kuat. Ia lulusan elektro ITB, kemudian melanjutkan studi ekonomi di Purdue University. Di sana, ia berinteraksi dengan para ekonom kelas dunia seperti Paul Michael Romer, pemenang hadiah Nobel. Romer terkenal dengan teori pertumbuhan ekonomi dan istilah “mathiness”, yaitu teori yang tampak matematis namun sebenarnya hanya menjadi alat pembenar asumsi ideologi tertentu.

Purbaya juga pernah membawa Romer ke Indonesia pada tahun 2012. Kini, Romer berusia 69 tahun dan menjadi guru besar di Boston College. Ia pernah menjabat direktur Bank Dunia, meskipun akhirnya mundur karena perbedaan pendapat.

Perjalanan Menuju Jabatan Menteri Keuangan

Sebelum menjadi menteri keuangan, Purbaya sempat menjabat sebagai ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Forum di Bidakara, Jakarta, sebenarnya diadakan untuk mendukungnya agar terpilih kembali sebagai ketua LPS. Namun, ia justru dilantik sebagai menteri keuangan, sehingga acara tersebut dinilai “over deliver” oleh Purbaya sendiri.

Dalam diskusi tersebut, Purbaya mengungkap bagaimana ia dikenal oleh Presiden Prabowo Subianto. Saat itu, ekonomi Indonesia sedang lesu, dan Purbaya merasa situasi sudah gawat. Ia memberikan masukan kepada dua presiden sebelumnya, yakni SBY dan Jokowi, tentang cara mengatasi kelesuan ekonomi. Data yang ia lihat sama: peredaran uang di masyarakat sangat turun. Ini menjadi ancaman serius bagi perekonomian.

Kritik terhadap Kinerja Ekonomi

Purbaya menyatakan bahwa jika ekonomi tumbuh hanya sekitar lima persen, Indonesia akan kesulitan maju dan makmur. Ia menilai bahwa negara ini telah terjebak dalam pendapatan kelas menengah, dan untuk keluar dari jebakan itu, pertumbuhan harus mencapai double digit.

Ia juga mengkritik kinerja ekonomi era Jokowi. Menurutnya, meskipun banyak infrastruktur dibangun, dampak ekonominya lebih kecil dibanding masa SBY. Namun, ia mengakui bahwa Jokowi cepat merespons rekomendasinya, seperti penggelontoran dana ke sistem keuangan setelah pandemi.

Menghadapi Kritik dan Perubahan

Purbaya tidak takut terhadap kritik, termasuk dari tokoh-tokoh seperti Rocky Gerung. Ia bahkan bercanda bahwa saat ini ada orang yang berani mengkritik filsuf Rocky Gerung. Ia juga menyatakan bahwa sektor swasta saat ini sangat lesu, sementara BUMN mendominasi ekonomi. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi tidak bisa digerakkan hanya oleh pemerintah, tetapi perlu peran lebih besar dari swasta.

Dalam kehidupan pribadi, Purbaya lebih senang bekerja di LPS karena gaji yang besar dan pekerjaan yang relatif ringan. Setelah dilantik sebagai menteri keuangan, ia langsung bertanya tentang gajinya dan merasa gaji turun drastis. Ia menyatakan bahwa jabatan menteri hanya memiliki “gengsi tinggi”, tetapi gaji rendah.

Tantangan di Masa Depan

Purbaya tidak terpengaruh oleh prediksi IMF tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia percaya bahwa 90 persen faktor ekonomi ditentukan oleh dalam negeri, bukan faktor global. Ia juga menyatakan bahwa Indonesia terlalu silau pada asing.

Ia berharap swasta dapat menyambut hangat datangnya menteri keuangan baru ini. Dengan adanya ekonom yang “insyaf”, ia berharap ada perubahan positif. Ia juga bercanda bahwa di ITB ia dibilang insinyur yang salah jalan, tetapi oleh ekonom ia dibilang sebagai ekonom yang Instagram.

Yang pasti, para kepala daerah gembira karena daerah akan dipakai sebagai salah satu mesin pertumbuhan. Dana daerah akan kembali digelontorkan. Dalam istilah Syahganda Nainggolan, kepala daerah berlaku seperti di zaman penjajahan Belanda, di mana mereka menekan ke bawah setelah ditekan dari atas.

Kini, aktivis-aktivis “jalan ekonomi baru” mulai berada di sekitar presiden. Seperti yang pernah terjadi di masa Presiden B.J. Habibie, saat rupiah bisa menguat luar biasa dalam waktu singkat. Namun, Habibie hanya bertahan satu tahun karena ketidakstabilan politik. Kini, politik di Indonesia terlihat stabil—sampai ada yang membuatnya tidak stabil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *