Diagram Kota Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang untuk mendengarkan keterangan ahli mengenai uji materi mengenai pengenaan pajak hiburan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Selama sidang, Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Haula Rosdiana menyajikan pendapatnya mengenai masalah ini.
Haula menyoroti bahwa Jasa Salus Per Aquam (SPA), yang termasuk dalam kategori pelayanan kesehatan, tidak termasuk dalam kategori usaha hiburan. Oleh karena itu, ia merekomendasikan agar regulasi pemajakan jasa SPA disesuaikan dengan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dalam pendapatnya, Haula berpendapat bahwa SPA seharusnya ditulis dengan huruf kapital karena merupakan singkatan dari Sehat Pakai Air atau Salus Per Aquam atau Sanitasi Per Aquam, yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan. Namun, rumusan dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD justru menunjukkan bahwa SPA dianggap sebagai biaya eksternalitas negatif.
Sidang MK ini menyoroti pentingnya meninjau kembali regulasi pajak hiburan dan jasa SPA untuk memastikan bahwa mereka sejalan dengan kebijakan dan tujuan pemerintah. Ini juga menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan dampak pajak terhadap industri dan konsumen.
Menurut Haula hal ini bertentangan dengan Undang-undang Kesehatan (UU Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan) yang justru menegaskan SPA yang merupakan warisan budaya yang banyak memiliki kearifan lokal, sejatinya merupakan bagian dari perawatan kesehatan.
“Secara akademis dilihat dari legal character dari pajak sebetulnya ini ada kontradiksi ketika SPA dianggap sebagai hiburan itu menjadi sangat kontradiktif dengan Undang-undang Kesehatan,” jelas Haula di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta Pusat, dikutip ahbi.co.id, Kamis (25/7/2024).
Ia juga menyebutkan, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan SPA Konsideran berisi, bahwa pelayanan kesehatan tradisional merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Nasional, di mana pelayanan kesehatan SPA merupakan salah satu jenis pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan dan ramuan dengan pendekatan holistik untuk menyeimbangkan tubuh, pikiran dan jiwa.
Kemudian, dalam Pasal 1 Angka 1 dijelaskan SPA merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan secara holistik dengan memadukan berbagai jenis perawatan kesehatan tradisional dan modern yang menggunakan air beserta pendukung perawatan lainnya berupa pijat penggunaan ramuan, terapi aroma, latihan fisik, terapi warna, terapi musik, dan makanan untuk memberikan efek terapi melalui panca indera guna mencapai keseimbangan antara tubuh (body), pikiran (mind), dan jiwa (spirit), sehingga terwujud kondisi kesehatan yang optimal.
Atas dasar hukum tersebut ia merekomendasikan regulasi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa SPA saat ini kontradiktif dengan kebijakan PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis dan tidak memenuhi asas netralitas, sehingga distortif untuk mendorong Program Indonesia Sehat dalam menyejahterakan masyarakat.
“Sebelum UU HKPD, SPA menjadi objek pajak hiburan setara dengan panti pijat, refleksi, mandi uap/SPA, dan pusat kebugaran serta tarif maksimum pengenaan pajak 75 persen dan tidak ada batas bawah. Sedangkan setelah UU HKPD, SPA menjadi objek PBJT jasa kesenian dan hiburan setara dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar, serta ada pengenaan tarif pajak batas bawah 40 persen,” jelas Haula.
Dengan demikian, menurutnya, kebijakan dan regulasi pajak daerah atas jasa SPA perlu diselaraskan dengan regulasi PPN atas jasa pelayanan kesehatan—yang memberikan fasilitas pembebasan pajak atas jasa pelayanan kesehatan.
“Karena SPA merupakan salah satu jenis pelayanan kesehatan tradisional yang ada dalam UU Kesehatan, maka seyogianya SPA tidak dipaksakan untuk dimasukkan sebagai obyek PBJT hiburan karena contadictio in terminis. Kebijakan pemungutan perpajakan atas jasa pelayanan SPA perlu dirumuskan dengan komprehensif holistik, dan imparsial dengan mempertimbangkan multiplier effect, baik secara ekonomi maupun sosial, termasuk juga aspek pelestarian budaya,” tegas Haula.
Hal senada juga disampaikan oleh Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana Yohanes Usfunan. Menurutnya, pengkategorian SPA ke usaha hiburan dalam ketentuan dalam UU HKPD bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan UU Dasar (UUD) Tahun 1945 terkait hak untuk hidup yang sehat.
Menurut Yohanes ada alasan bahwa pijat atau SPA ini bagian daripada kemewahan, saya pikir tidak, ini bagian dari hak asasi manusia. Usaha pelayanan kesehatan tradisional berbeda sekali konsepnya dengan usaha hiburan karena SPA untuk melayani kesehatan atau kebugaran konsumen yang merasakan kecapaian atau keletihan badan dan kurang sehat.
“Kesalahan pengkategorian justru dapat menimbulkan masalah, seperti menghambat masyarakat meningkatkan taraf hidup, hambatan dalam industri padat karya, menghambat penyerapan tenaga kerja, serta menghambat peningkatan ekonomi masyarakat,” jelas Yohanes.
Secara keseluruhan, sidang MK ini menunjukkan kebutuhan untuk meninjau kembali regulasi pajak hiburan dan jasa SPA untuk memastikan bahwa mereka sejalan dengan kebijakan dan tujuan pemerintah. Ini juga menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan dampak pajak terhadap industri dan konsumen. (dk/ria)