Syahganda Nainggolan: Sepuluh Tahun Kekuasaan Politik Jokowi
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 9 jam yang lalu
- comment 0 komentar

Kritik terhadap Pemerintahan Jokowi yang Menyentuh Hati
DIAGRAMKOTA.COM – Syahganda Nainggolan, seorang tokoh yang dikenal dengan pandangan tajamnya, menatap dengan penuh kepedihan. Ia seperti melihat kembali sepuluh tahun penuh kesedihan dan kekecewaan. “Sepuluh tahun terakhir ini,” katanya dengan suara yang pelan tapi penuh makna, “kita hidup dalam rampokisme politik.”
Kritik Syahganda terhadap pemerintahan Jokowi bukanlah hal baru. Namun, kali ini nada suaranya terasa lebih dalam dan menyentuh. Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up yang tayang pada Selasa, 14 Oktober 2025, ia menggambarkan era Jokowi sebagai masa “rampokisme politik, bukan kapitalisme.” Menurutnya, apa yang terjadi di bawah kepemimpinan Jokowi tidak hanya sekadar korupsi, tetapi juga kerusakan sistemik yang menciptakan birokrasi yang rapuh dan mentalitas feodal.
Negara telah menjauh dari cita-cita sosial?
“Rampokisme itu,” jelas Syahganda, “membuat pejabat menjadi kaki tangan kekuasaan. Mereka lebih takut pada atasan daripada pada kebenaran.” Ia juga menyebut bahwa negara kini semakin menjauh dari cita-cita sosial yang dulu menjadi dasar berdirinya. “Negara ini tidak lagi berjuang untuk rakyat kecil,” ujarnya. “Semua berubah jadi proyek besar untuk segelintir orang yang dekat dengan istana.”
Harapan pada Transisi
Bagi Syahganda, Jokowi mungkin meninggalkan banyak pembangunan fisik, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang cukup dalam. Ia menyebut demokrasi saat ini “lebih mirip sandiwara”, dengan partai-partai politik yang kehilangan arah ideologis dan hanya berlomba mencari posisi aman. Namun di balik kritik keras itu, terselip nada harapan. Syahganda menyebut Presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai “sosok yang pelan tapi pasti sedang memperbaiki yang rusak.”
Menurutnya, Prabowo memiliki kesadaran sosial yang lebih kuat, setidaknya dibandingkan Jokowi. “Prabowo ini secara sosialistik masih ada,” kata Syahganda. “Dia masih punya hati untuk rakyat. Dan dia tahu, yang diwariskan padanya bukan negara kuat, tapi negara yang lelah.” Ia juga menyoroti pentingnya reformasi di tubuh kepolisian. “Kalau Prabowo berani menata Polri,” ujarnya, “itu akan menjadi sinyal awal bahwa negara ini mau berubah.”
Harapan Tapi Tidak Buta
Tapi Syahganda tidak menaruh harapan buta. Ia tahu kekuasaan selalu punya cara menguji integritas. “Saya hanya berharap,” katanya, “Prabowo tidak terjebak pada warisan Jokowi—pada lingkaran orang-orang yang selama ini memperalat negara.” Bagi banyak pengamat, suara Syahganda adalah gema kecil di tengah lautan politik yang sudah terlalu tenang. Tapi di antara kata-katanya, ada kebenaran pahit yang sulit dibantah: bahwa transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo bukan hanya pergantian wajah, melainkan ujian arah bangsa.
“Sepuluh tahun terakhir kita kehilangan moralitas. Sekarang, kalau Prabowo mau benar, dia harus mulai dari sana—mengembalikan moral politik yang dirampas oleh rampokisme itu,” katanya menutup percakapan.
Saat ini belum ada komentar