Surabaya Masuk Daftar Evaluasi Inflasi Nasional
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 5 jam yang lalu
- comment 0 komentar

Kepala BPS, Amalia Adininggar
DIAGRAMKOTA.COM – Kota Surabaya kembali disebut dalam rapat nasional terkait pengendalian inflasi. Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah (Rakor PID) Tahun 2025 yang digelar oleh Kementerian Dalam Negeri bersama Badan Pusat Statistik (BPS), Surabaya masuk dalam daftar panjang daerah yang dievaluasi terkait perkembangan harga kebutuhan pokok di tingkat kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Kepala BPS, Amalia Adininggar, dalam paparannya menjelaskan bahwa selama minggu keempat Juni 2025, tercatat 16 provinsi mengalami kenaikan Indeks Perkembangan Harga (IPH), sementara 21 provinsi lainnya mengalami penurunan. Dari 38 provinsi, Jawa Timur termasuk dalam lima besar provinsi dengan kenaikan IPH tertinggi, bersama Sulawesi Tenggara, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Barat.
“Untuk Jawa Timur, komoditas yang memberikan andil terbesar terhadap kenaikan IPH adalah cabai rawit, beras, dan bawang merah,” ujar Amalia dalam forum Rakor tersebut.
Surabaya, meskipun tidak disebut secara spesifik sebagai daerah dengan inflasi tertinggi, tetap menjadi kota yang diawasi secara nasional, mengingat perannya sebagai pusat aktivitas ekonomi dan distribusi pangan Jawa Timur. Kenaikan harga di Surabaya sering kali menjadi barometer bagi wilayah sekitar, termasuk Gresik, Sidoarjo, dan Mojokerto.
Surabaya Belum Masuk 20 Besar, Tapi Tekanan Harga Nyata
Dalam data yang dipaparkan BPS, 10 daerah dengan kenaikan IPH tertinggi antara lain Kabupaten Bombana, Blitar, Donggala, Buton, Manokwari Selatan, Poso, Lamongan, Lombok Barat, Malang, dan Indramayu. Meski Surabaya tidak termasuk di dalamnya, bukan berarti kondisi harga di kota metropolitan ini aman.
Secara nasional, BPS mencatat ada 179 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga bawang merah, 163 daerah yang mengalami kenaikan harga beras, dan 94 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga minyak goreng.
Surabaya termasuk di antara wilayah perkotaan dengan kecenderungan harga kebutuhan pokok meningkat, terutama menjelang pergantian musim dan tingginya biaya distribusi.
“Ada dua komoditas yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni beras dan minyak goreng. Keduanya masih berada pada level harga tinggi dan berpotensi menekan daya beli masyarakat,” jelas Amalia.
Dengan demikian, posisi Surabaya di daftar pemantauan nasional bukan sekadar administratif. Kota ini berada dalam kategori daerah yang perlu waspada terhadap tekanan harga pangan—bukan karena lonjakan ekstrem, tetapi karena dampaknya yang luas terhadap perekonomian Jawa Timur.
Evaluasi Nasional: Banyak Daerah Dinilai Setengah Hati
Dalam sesi evaluasi, Kementerian Dalam Negeri menyoroti bahwa dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 9 daerah yang dinilai melakukan upaya maksimal menahan inflasi, sementara 213 daerah disebut bekerja “setengah hati”.
Beberapa di antaranya tidak aktif melaporkan langkah konkret atau belum optimal melaksanakan operasi pasar dan koordinasi dengan TPID.
“Daerah yang tidak peduli terhadap kenaikan harga sama saja tidak bertanggung jawab terhadap masyarakatnya,” tegas pimpinan rapat dari Kemendagri.
Walaupun Surabaya tidak disebut sebagai daerah yang pasif, peringatan keras ini menjadi sinyal bagi Pemerintah Kota untuk tidak terlena dengan status “bukan tertinggi”. Dalam kondisi ekonomi yang fluktuatif, stabilitas harga di kota besar seperti Surabaya sangat memengaruhi persepsi inflasi regional.
Surabaya Harus Tampil sebagai Model Pengendalian Inflasi
Sebagai pusat ekonomi Jawa Timur, Surabaya diharapkan menjadi model pengendalian inflasi perkotaan. Pemkot perlu memperkuat koordinasi lintas sektor, mulai dari TPID, Dinas Perdagangan, Bulog, hingga pelaku pasar tradisional.
Langkah cepat seperti operasi pasar murah, subsidi ongkos distribusi, dan pengawasan harga harian di pasar tradisional bisa membantu menekan gejolak harga di lapangan.
Kementerian Dalam Negeri juga menegaskan bahwa kepala daerah wajib aktif menyosialisasikan kebijakan nasional, termasuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri mengenai pembebasan BPHTB dan PBG untuk mendukung pembangunan rumah rakyat, yang juga berdampak pada pengendalian biaya hidup.
“Kepala daerah, termasuk wali kota, diminta tidak hanya menunggu instruksi pusat, tapi juga menunjukkan inisiatif dalam melaporkan data inflasi dan langkah pengendalian harga,” tegas perwakilan Kemendagri dalam rakor tersebut.
Catatan Redaksi
Posisi Surabaya dalam daftar panjang evaluasi inflasi seharusnya menjadi peringatan dini bagi Pemkot untuk memperkuat kebijakan stabilisasi harga.
Meskipun tidak berada di antara 20 daerah dengan inflasi tertinggi, tekanan harga di Surabaya tetap signifikan dan berdampak luas. Kota ini tidak boleh hanya menjadi “penonton” dalam rapat nasional, tetapi harus tampil sebagai pelaku utama dalam menjaga kestabilan ekonomi masyarakat urban.
Kenaikan harga bahan pokok bukan sekadar angka statistik, tetapi soal kesejahteraan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah kota. Saat banyak daerah bekerja setengah hati, Surabaya harus menunjukkan bahwa kota besar juga bisa berpihak pada rakyat kecil — bukan hanya menjadi pusat ekonomi, tetapi juga pusat kendali keseimbangan harga.
Penulis : Nawi
