Rasa Kekasih di Lembah Lewotobi Flores Timur
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month 11 jam yang lalu
- comment 0 komentar

Kehidupan sebagai Penyintas di Desa Hokeng Jaya
DIAGRAMKOTA.COM – Waktu berlari cepat, tapi kesadaran kami berjalan lamban menuju kenyataan. Sudah 22 bulan kami hidup sebagai penyintas erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Sejak letusan besar pada 23 Desember 2023, hingga guncangan dan letusan dahsyat yang datang kembali pada 3 November 2024, hidup kami tak lagi sama. Label penyintas melekat di dada, di setiap langkah, dalam setiap helaan napas. Dua tahun lebih, pemerintah masih berjibaku menyiapkan lahan relokasi untuk membangun Hunian Tetap (Huntap). Sementara itu, kami bertahan di Hunian Sementara (Huntara) di antara harapan dan rasa letih yang kian menua bersama waktu.
Desa Hokeng Jaya yang Dulu Sejuk dan Rindang
Dulu, Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang adalah rumah yang meneduhkan. Anginnya sejuk, tanahnya subur. Saat pagi, kabut bergelayut di lereng dan tawa anak-anak sekolah memenuhi jalan. Di sana berdiri SMAS Seminari San Dominggo Hokeng milik Keuskupan Larantuka, tempat para calon imam ditempa dan Biara Kongregasi SSpS yang menjadi pelita iman dan pengharapan. Saya lahir dan tumbuh di tanah itu menyaksikan bagaimana tangan-tangan petani menanam mimpi di ladang yang kini terkubur abu. Semua berubah sejak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Pohon-pohon yang dulu rindang kini tinggal arang. Jalanan desa tertutup pasir dan batu menyisakan sunyi yang menusuk.
Pulang ke Rumah yang Tak Lagi Sama
Pagi itu, Kamis, 23 Oktober 2025, saya kembali menjejakkan kaki di Hokeng Jaya. Rumah-rumah yang dulu berwarna kini pudar, sebagian roboh sebagian berdiri goyah. Di halaman, beberapa warga bekerja dalam diam. Salah satunya Oni Huar, tetangga saya. Ia memikul kayu, menenteng jeriken berisi air bersih, lalu menaikkannya ke bak mobil pickup. Setiap kali ingin pulang ke rumah, Oni harus menempuh 20 kilometer dari Huntara III di Desa Konga, Kecamatan Titehena. Sekali jalan, ia mengeluarkan Rp 20.000, harga rindu yang harus dibayar mahal. “Kalau tidak pulang, siapa yang urus ternak?” katanya lirih. Ia tahu, rumahnya sudah porak-poranda, tapi di situlah sebagian hatinya masih tertinggal.
Kampung yang Ditelan Sunyi
Dari kejauhan, Gunung Lewotobi Laki-laki berdiri angkuh seolah mengawasi setiap langkah kami. Desa Hokeng Jaya, Klatanlo, Nawokote dan Dulipali kini ditetapkan sebagai zona merah. Desa-desa ini hanya empat kilometer dari puncak gunung. Tak ada lagi riuh tawa anak-anak sekolah, tak ada lagi deru sepeda motor bersahutan. Hanya angin yang berdesir membawa aroma debu vulkanik. Namun, di antara puing dan abu, masih ada sisa kehidupan. Beberapa warga datang memetik kelapa, memanen sayur, atau sekadar menengok ternak yang ditinggalkan. Mereka pulang menjelang sore, atau lebih cepat bila gunung kembali bergemuruh. Hokeng yang dulu sejuk, kini panas dan kering. Rumput menutupi jalan beraspal yang tertimbun material vulkanik. Alam seperti ikut berduka, kehilangan rona hijaunya.
Antara Kehilangan dan Keteguhan
Di pengungsian, kisah-kisah kehilangan terus bergulir. Ada warga yang menangis karena rumah dan kebunnya dijarah orang tak dikenal. Ada pula yang memilih diam, menyimpan amarah di dada karena tak ingin menambah luka. Teman-teman saya—guru, tenaga kesehatan, dan pegawai masih setia mengabdi meski harus melewati jalur berbahaya. Sebagian lainnya memilih pergi jauh, mencari penghidupan di tanah rantau. Kami sering bercakap lewat telepon, saling menguatkan, walau suara kami kadang tercekat oleh rindu. Saya sendiri tetap menulis sebagai Jurnalis DIAGRAMKOTA.COM di Kabupaten Flores Timur. Dengan telepon kecil di tangan, saya merekam setiap detik kepanikan, setiap cerita duka dan harapan. Saya adalah jurnalis penyintas, mencoba berdiri tegak di tengah bencana yang juga menimpa diri sendiri.
Harapan yang Tak Pernah Padam
Dari setiap kisah yang saya saksikan, saya belajar satu hal: manusia bisa kehilangan rumah, tapi tidak harapan. Warga Lewotobi tahu benar bahwa hidup tak mudah, namun mereka juga tahu cara untuk tidak menyerah. Kami percaya, kebahagiaan akan datang, entah cepat atau lambat. Seperti hujan yang suatu hari akan kembali membasuh abu di halaman kami, dan seperti pagi yang selalu menepati janji setelah malam yang panjang. Dari lembah Lewotobi yang pernah hijau, kami menunggu waktu. Menunggu untuk bisa pulang—bukan sekadar ke rumah, tapi ke kehidupan yang lebih damai.





Saat ini belum ada komentar