Kuasa Negara yang Tertahan: Refleksi Pasal 33 UUD 1945 dalam Kegagalan Ekonomi
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sen, 20 Okt 2025
- comment 0 komentar

Paradoks dalam Implementasi Pasal 33 UUD 1945
DIAGRAMKOTA.COM – Di tengah perjalanan bangsa Indonesia menuju kesejahteraan, sebuah paradoks yang membingungkan terus menggerogoti fondasi konstitusi kita. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun, realitas yang terjadi justru menunjukkan bahwa petani Indonesia semakin terpinggirkan, sementara penguasaan lahan oleh korporasi semakin meluas.
Ini menimbulkan pertanyaan besar: Di mana letak kesalahan kita? Apakah implementasi konstitusi telah terdistorsi, atau apakah ada kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar tersebut?
Mandat Konstitusi yang Terdistorsi
Pasal 33 UUD 1945 sejatinya mengandung tiga prinsip utama: penguasaan negara, demokrasi ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Namun, dalam praktiknya, ketiga prinsip ini mengalami distorsi yang sistematis. Penguasaan negara yang seharusnya menjadi perlindungan bagi rakyat berubah menjadi sekadar pemberian izin kepada korporasi. Demokrasi ekonomi yang seharusnya memberdayakan rakyat justru digantikan oleh oligarki ekonomi yang menguasai sumber-sumber produksi. Sementara itu, kesejahteraan sosial menjadi sekadar kata-kata kosong, karena petani—pelaku utama pertanian—terpaksa menjadi penonton di negeri agrarisnya sendiri.
Dikotomi yang Menghianati Konstitusi
Kita menyaksikan sebuah dikotomi yang semakin melebar. Di tingkat petani, lahan semakin terpecah-pecah dan tidak efisien, sedangkan di tingkat korporasi, penggunaan lahan berlangsung dalam skala masif. Data menunjukkan bahwa dari tahun 1970 hingga 2024, rata-rata kepemilikan lahan petani menyusut dari 0,8 hektar menjadi 0,5 hektar. Sebaliknya, luas perkebunan kelapa sawit korporasi meningkat drastis, dari sekitar 100.000 hektar pada tahun 1970 menjadi 16,8 juta hektar saat ini. Sekitar 10 juta hektar lebih dimiliki oleh sejumlah kecil korporasi besar.
Ironisnya, ekspansi korporasi ini tidak diiringi dengan pengembangan industri hilir. Kita tetap menjadi eksportir bahan mentah, sementara nilai tambah dinikmati oleh negara lain. Contohnya, Indeks Kompleksitas Produk (Product Complexity Index) minyak kelapa sawit hanya bernilai minus 2,4, yang menunjukkan kandungan ilmu pengetahuan rendah dalam produk ini. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat Pasal 33 yang menekankan pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat.
Deindustrialisasi dan Beban Ganda Pertanian
Yang lebih memprihatinkan adalah fakta bahwa sementara pertanian dibiarkan terfragmentasi, industrialisasi justru mengalami kemunduran. Kontribusi manufaktur terhadap PDB merosot dari 28 persen pada 2001 menjadi 18 persen pada 2023. Deindustrialisasi ini memaksa pertanian menanggung beban ganda: sebagai penyedia lapangan kerja dan penjaga stabilitas sosial, sekaligus sebagai buffer ketika industri melemah.
Inilah bentuk pengkhianatan terhadap konsep transformasi struktural yang menjadi inti pembangunan berkelanjutan. Alih-alih membangun industri yang menghasilkan nilai tambah, kita justru terjebak dalam ekonomi ekstraktif yang menyengsarakan rakyat dan menguras kekayaan alam.
Menyelamatkan Mandat Konstitusi
Sudah saatnya kita kembali kepada jiwa asli Pasal 33 UUD 1945. Kita membutuhkan keberanian untuk melakukan koreksi fundamental:
Interpretasi ulang makna “dikuasai oleh negara”
Penguasaan negara harus dimaknai sebagai kewajiban negara untuk melindungi kepentingan rakyat, bukan sebagai legitimasi bagi korporasi. Negara harus aktif dalam mencegah konsentrasi penguasaan sumber daya alam pada segelintir kelompok.Penegakan prinsip demokrasi ekonomi
Koperasi dan usaha kecil menengah harus menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya alam. Product Complexity Index minus 2,4 tidak layak bagi produk perusahaan konglomerat swasta atau BUMN. Skema kemitraan yang adil antara petani dan industri harus menjadi prioritas, bukan pemberian konsesi kepada korporasi. Koperasi harus menjadi institusi utama dalam pengelolaan sumber daya alam seperti perkebunan.Pembatasan jelas tentang “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Harus ada indikator terukur dan batasan waktu dalam pemanfaatan sumber daya alam. Setiap pengusahaan harus diikuti dengan kewajiban pengembangan industri hilir dan transfer teknologi.
Penutup: Saatnya Kembali ke Khittah
Bung Hatta pernah mengingatkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang paling revolusioner, karena bertujuan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi kerakyatan. Kini, 80 tahun setelah kemerdekaan, kita justru menyaksikan kembalinya pola ekonomi kolonial dalam bentuk yang lebih modern: konsentrasi penguasaan sumber produksi pada segelintir orang, dengan rakyat hanya menjadi penonton.
Kita tidak membutuhkan amandemen konstitusi. Kita membutuhkan penegakan konstitusi yang berintegritas. Kita tidak membutuhkan kebijakan baru. Kita membutuhkan keberanian untuk melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan jiwa konstitusi.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip pesan Bung Hatta: “Pemerintah harus melindungi kaum yang lemah, dan mengatur perusahaan-perusahaan besar, supaya tidak menjadi perusahaan raksasa yang melanggar hak asasi manusia kecil.”
Sudah saatnya kuasa negara yang tersandera dibebaskan, dan dikembalikan kepada khittahnya: sebagai pelindung rakyat, penjaga keadilan, dan pengawal kedaulatan ekonomi bangsa.





Saat ini belum ada komentar