Savic Bantah Tuduhan Makar: Aksi Massa Akibat Kelalaian Lembaga Negara

Tanggapan Ketua PBNU terhadap Tuduhan Makar

DIAGRAMKOTA.COM – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H. Mohamad Syafi’ Alielha atau yang lebih dikenal sebagai Savic Ali, memberikan respons terhadap pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut aksi massa sejak Kamis 28 Agustus 2025 sebagai bentuk makar. Dalam pernyataannya, Savic menolak tudingan tersebut dan menilai bahwa lembaga negara tidak menjalankan tugasnya dengan benar dalam merespons situasi yang terjadi.

Savic menekankan pentingnya kejelasan dalam penggunaan istilah “makar”. Menurutnya, saat ini tidak ada kekuatan politik yang memiliki niat untuk merebut kekuasaan secara inkonstitusional. Ia menegaskan bahwa partai-partai politik sudah bersifat pragmatis dan semuanya mendukung pemerintah.

Ia juga mempertanyakan makna dari istilah makar itu sendiri. “Makar itu maksudnya apa? Menentang pemerintah? Melawan pemerintah? Atau merebut kekuasaan? Jika memang ada pihak yang ingin merebut kekuasaan, ya disebut saja siapa,” ujarnya dengan tegas.

Savic menganggap pelabelan makar terhadap aksi massa sebagai bentuk ketidakmampuan memahami dinamika demokrasi masa kini. Ia mengatakan bahwa Presiden tentu memiliki akses terhadap laporan intelijen dan kepolisian, tetapi menurut pandangan Savic, pendekatan tersebut dianggap berlebihan dan bukan pertama kali terjadi.

Ia mengingatkan bahwa pada masa reformasi 1998, mahasiswa yang menduduki Gedung DPR saat Sidang Istimewa juga pernah dituduh makar oleh Panglima TNI Jenderal Wiranto. “Ini mencerminkan paradigma lama, yang memandang gerakan sosial yang keras atau menyerang aset negara sebagai makar. Sementara saya tidak melihat itu,” jelasnya.

Menanggapi anggapan bahwa kekerasan identik dengan makar, Savic berpendapat bahwa dalam sejarah gerakan sosial di berbagai negara, kekerasan sering kali muncul sebagai ekspresi frustrasi dari kelompok yang tidak didengar. Ia mengutip kata-kata Martin Luther King Jr., “Riot is the language of the unheard” (kerusuhan adalah bahasa dari mereka yang tak didengar).

“Dalam dinamika lapangan, memang memungkinkan massa melakukan kerusuhan sebagai bentuk frustrasi. Tapi juga bisa terjadi bahwa kekerasan dilakukan oleh kelompok yang memang sudah terorganisir,” jelasnya.

Savic menjelaskan bahwa kekerasan dalam aksi massa dapat terjadi karena dua hal. Pertama, spontanitas akibat interaksi emosional di lapangan. Kedua, perencanaan oleh kelompok yang memiliki agenda tertentu. “Yang spontan ini biasanya terjadi karena dinamika saling ejek, lempar, dorong, dan seterusnya. Itu instingtif,” katanya.

Ia menegaskan bahwa tugas aparat, khususnya kepolisian, adalah mengungkap kebenaran secara menyeluruh, termasuk jika ada keterlibatan aparat keamanan dalam kekerasan. “Penyelidikan tidak bisa dilakukan secara internal semata. Dalam kasus yang melibatkan polisi, harus ada tim independen. Dulu kekerasan tahun 1998 juga diusut oleh tim independen,” tegasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *