Pengelolaan Keuangan Daerah ala Risma vs Eri Cahyadi
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sel, 30 Sep 2025
- comment 0 komentar

DIAGAMKOTA.COM – Keputusan Pemerintah Kota Surabaya yang menurunkan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam RAPBD Murni 2026 menjadi sorotan tajam. Banyak pihak menilai langkah ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan indikasi lemahnya manajemen keuangan dan perekonomian daerah.
Imam Syafi’i, anggota DPRD Surabaya, menegaskan penurunan target PAD dari Rp8,3 triliun pada APBD Perubahan 2025 menjadi Rp8,158 triliun pada RAPBD 2026 sangat memprihatinkan. “Pendapatan asli daerah ini turun, sementara pajak-pajak daerah juga mengalami penurunan. Misalnya, total pajak daerah dari target APBD perubahan 2025 Rp 6,919 Triliun menjadi Rp 6,654 T. Kalau kita meminjam, mestinya pendapatan daerah itu justru dikejar. Ini kan kontradiktif,” tegasnya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Pemkot Surabaya benar-benar mampu membangun perekonomian masyarakat? Atau justru sebaliknya, terjebak pada pola besar pasak daripada tiang? Konsep anggaran berimbang (balance budget) seharusnya menjadi acuan, di mana pendapatan daerah ditingkatkan agar mampu menopang belanja yang terus naik seiring pertumbuhan ekonomi. Namun faktanya, Pemkot justru menurunkan target PAD sembari membuka opsi berutang.
Lebih ironis lagi, Pemkot Surabaya justru berencana mengajukan utang Rp1,5 triliun. Imam Syafi’i menilai kebijakan itu janggal karena tidak diimbangi dengan kenaikan signifikan pada total APBD. “Dengan utang Rp1,5 triliun, mestinya APBD bisa meningkat lebih signifikan. Ini malah sebaliknya, pendapatan daerah turun. Ini kan aneh,” sindirnya.
Jika dibandingkan dengan era kepemimpinan sebelumnya, langkah Pemkot hari ini terlihat kontras. Pada masa Wali Kota Tri Rismaharini, pembangunan infrastruktur besar bisa terealisasi tanpa berutang. Sebut saja Jalan MERR dengan biaya Rp425 miliar, Frontage Road Ahmad Yani Rp60 miliar, Underpass Mayjen Sungkono Rp77 miliar, hingga proyek JLLT dan JLLB senilai Rp60 miliar. Semua dibiayai dari APBD murni, bukan dari pinjaman.
Tidak sedikit pihak yang bahkan mulai mencurigai adanya permainan dalam perhitungan PAD. Isu miring soal potensi penggelapan kerap muncul, misalnya dari target PAD Rp1 triliun, yang masuk ke APBD hanya Rp750 miliar. Lantas ke mana sisa Rp250 miliar? Pertanyaan ini masih menggantung, namun cukup untuk menambah daftar panjang keraguan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Jika benar utang dijadikan tumpuan sementara PAD justru diturunkan, wajar bila publik menilai Pemkot Surabaya gagal mengoptimalkan potensi pendapatan yang ada. Bahkan, tidak berlebihan jika ada yang menyebut kondisi ini sebagai pemerintahan terburuk sepanjang sejarah, karena belum pernah sebelumnya Pemkot harus berutang demi menopang anggaran.
Kini, DPRD dan masyarakat harus lebih kritis. Penurunan target PAD bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan bukti awal bahwa tata kelola keuangan daerah berada di jalur yang keliru. Jika dibiarkan, Surabaya bisa masuk ke era krisis fiskal yang berimbas langsung pada kesejahteraan warganya.
Penulis : Nawi