DIAGRAMKOTA.COM – Barikade 98 Jatim kembali soroti kondisi keuangan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Belum selesai membayar utang Rp453 miliar di Bank Jatim—yang total kewajibannya membengkak hingga Rp513 miliar pada Desember 2025—Pemkot diam-diam berencana meneken akad pinjaman baru ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp2,4 triliun dalam kurun waktu dua tahun.
Ambisi pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik di bawah kepemimpinan Wali Kota Eri Cahyadi memang tengah digenjot. Namun, sumber pembiayaan yang bertumpu pada pinjaman mulai dikhawatirkan akan membebani fiskal daerah.
Dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2025 yang telah disahkan DPRD Surabaya, Pemkot mengalokasikan pembayaran pinjaman Rp513 miliar, termasuk bunga. Sesuai aturan Kementerian Keuangan, seluruh utang wajib dilunasi sebelum masa jabatan wali kota berakhir pada 2029.
DPRD Bergerak, Konsultasi ke Bappenas
Informasi yang diperoleh, Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Surabaya dijadwalkan berangkat ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada Kamis pagi (18/9) untuk berkonsultasi soal rencana pinjaman jumbo ini. Sejumlah legislator mengakui bahwa rencana pinjaman daerah memang sah secara regulasi, namun tetap harus dihitung cermat dampaknya.
“Secara aturan memang diperbolehkan, sepanjang tidak lebih dari 75 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi lonjakan utang ini jangan sampai menjerat APBD hingga sulit bergerak,” ujar salah satu anggota Banggar DPRD yang enggan disebut namanya, Selasa (16/9).
Barikade 98 Jatim: “Pemkot Terjebak Pola Utang untuk Menutupi Defisit”
Merespons rencana pinjaman tersebut, Pengurus Harian Barisan Rakyat Indonesia Kawal Demokrasi (Barikade) 98 Jawa Timur, Hari Agung, mengkritik keras kebijakan keuangan Pemkot Surabaya yang dinilai tidak sustainable. Menurut dia, tren peningkatan utang daerah ini menunjukkan ketidakseimbangan struktural yang mengkhawatirkan.
“Data menunjukkan Pemkot Surabaya menghadapi defisit anggaran hingga Rp700 miliar yang kemudian ditutupi dengan pinjaman. Ini pola yang berbahaya karena menunjukkan ketergantungan berlebihan pada utang ketimbang optimalisasi sumber pendapatan asli,” ujarnya, Rabu (17/9).
Agung juga mempertanyakan inkonsistensi data keuangan yang dipublikasikan Pemkot. Ia mencatat, dalam berbagai dokumen publik, angka utang ke Bank Jatim bervariasi antara Rp452-453 miliar, sementara total kewajiban yang harus dibayar mencapai Rp513 miliar.
“Transparansi data keuangan adalah hal mendasar dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Bagaimana masyarakat bisa mengawasi jika data yang disampaikan tidak konsisten?” tanya aktivis yang juga Koordinator Advokasi Kebijakan Publik Barikade 98 Jatim ini.
Alokasi Infrastruktur Terlalu Dominan
Berdasarkan data APBD 2025, Pemkot Surabaya mengalokasikan sekitar 48,85% atau Rp6,03 triliun dari total anggaran Rp12,347 triliun untuk sektor infrastruktur. Hari Agung menilai porsi ini terlalu besar dan berpotensi mengorbankan sektor vital lainnya.
“Dengan PAD ditargetkan Rp8,7 triliun, jika rencana pinjaman SMI sebesar Rp2,4 triliun direalisasikan, maka rasio utang terhadap PAD akan mencapai 27,6 persen. Meski masih di bawah batas 75 persen yang ditetapkan pemerintah pusat, tren ini tetap mengkhawatirkan,” paparnya.
Hari Agung menekankan, akumulasi utang yang mencapai hampir Rp3 triliun (existing + rencana baru) dapat membatasi ruang fiskal untuk program-program sosial, pendidikan, dan kesehatan yang juga mendesak bagi masyarakat Surabaya.
Desakan Evaluasi Menyeluruh
Barikade 98 Jatim mendesak Pemkot Surabaya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prioritas belanja daerah sebelum mengambil pinjaman baru. Agung menegaskan, seharusnya optimalisasi PAD menjadi fokus utama ketimbang menambah beban utang.
“Kami mendesak transparansi data keuangan yang akurat, audit menyeluruh terhadap efektivitas program infrastruktur yang sudah berjalan, dan roadmap pelunasan utang yang jelas. Jangan sampai generasi mendatang menanggung beban utang dari proyek-proyek yang tidak memberikan manfaat optimal,” tegasnya.
Timing Konsultasi Bukti Lemahnya Pengawasan DPRD
Organisasi nasional aktivis 98 yang konsern pada isu kebijakan publik ini juga mempertanyakan timing konsultasi DPRD ke Bappenas yang baru dilakukan ketika rencana pinjaman sudah dalam tahap lanjut.
“Proses konsultasi seharusnya dilakukan di awal perencanaan, bukan ketika keputusan sudah hampir final. Ini mengurangi efektivitas fungsi pengawasan legislatif,” kritik Agung.
Hingga berita ini diturunkan, Pemkot Surabaya belum memberikan tanggapan resmi terkait kritik dan desakan transparansi yang disampaikan berbagai pihak. Sementara itu, konsultasi Banggar DPRD ke Bappenas pada Kamis (18/9) diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai kelayakan dan dampak rencana pinjaman jumbo tersebut. (@)