Penerimaan Pajak DJP dari Sektor Usaha Ekonomi Digital Meningkat Sebesar Rp 25,88 Triliun

EKONOMI728 Dilihat

Diagram Kota SurabayaDirektorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan bahwa mereka telah menerima sejumlah besar pajak dari sektor usaha ekonomi digital, sebesar Rp 25,88 triliun. Ini termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) senilai Rp 20,8 triliun.

Untuk pajak kripto Rp 798,84 miliar, pajak fintech (P2P lending) Rp 2,19 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp 2,09 triliun.

Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Dwi Astuti, jumlah pajak ini mencerminkan pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan dari sektor usaha ekonomi digital di Indonesia.

DJP telah bekerja sama dengan perusahaan fintech dan penyedia layanan kripto untuk memastikan bahwa mereka mematuhi semua peraturan dan regulasi pajak yang relevan.

Penerimaan pajak yang meningkat ini menunjukkan bahwa industri usaha ekonomi digital semakin matang dan menjadi kontribusi yang signifikan bagi perekonomian negara.

DJP akan terus bekerja sama dengan perusahaan fintech dan penyedia layanan kripto untuk memastikan bahwa mereka mematuhi semua peraturan dan regulasi pajak yang relevan dan memberikan kontribusi yang adil terhadap perekonomian negara.

Dwi Astuti menjelaskan, sampai dengan Juni 2024, pemerintah telah menunjuk 172 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut PPN. Pada bulan Juni 2024, tidak terdapat penunjukan, pembetulan/perubahan data maupun pencabutan pemungut PPN PMSE.

“Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 159 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE Rp 20,8 triliun. Jumlah tersebut berasal dari Rp 731,4 miliar (2020), Rp 3,90 triliun (2021), Rp 5,51 triliuun (2022), Rp 6,76 triliun (2023), dan Rp 3,89 triliun setoran (2024),” ungkap Dwi dalam keterangan tertulis yang diterima diagramkota.com, Senin (22/7/2024).

Ia memerinci, penerimaan pajak kripto telah terkumpul Rp 798,84 miliar sampai dengan Juni 2024. Penerimaan tersebut berasal dari Rp 246,45 miliar (2022), Rp 220,83 miliar (2023), dan Rp 331,56 miliar (2024).

Penerimaan pajak kripto tersebut, terdiri dari Rp 376,13 miliar penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas transaksi penjualan kripto pada exchanger dan Rp 422,71 miliar penerimaan PPN dalam negeri (DN) atas transaksi pembelian kripto pada exchanger.

Sementara, pajak fintech (P2P lending) juga telah menyumbang penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital sebesar Rp 2,19 triliun sampai dengan Juni 2024. Penerimaan dari pajak fintech berasal dari Rp 446,39 miliar (2022), Rp 1,11 triliun (2023), dan Rp 635,81 miliar (2024).

“Pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan BUT (Bentuk Usaha Tetap) Rp 732,34 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN Rp 270,98 miliar, dan PPN DN atas setoran masa Rp 1,19 triliun,” jelas Dwi.

Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP. Hingga Juni 2024, penerimaan dari pajak SIPP Rp 2,09 triliun.

Penerimaan dari pajak SIPP tersebut berasal dari Rp 402,38 miliar (2022), Rp 1,12 triliun (2023), dan Rp 572,17 miliar (2024). Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh Rp 141,23 miliar dan PPN Rp 1,95 triliun.

“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ungkap Dwi.

Dwi menambahkan pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa sistem tersebut. (akha)

Share and Enjoy !