Gubes ITS Ingatkan Pentingnya Jaga Lingkungan Tanggulangi Hujan Mikroplastik
- account_circle Shinta ms
- calendar_month 1 jam yang lalu
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM- Saat ini masyarakat dihebohkan dengan hujan yang mengandung mikroplastik di Jakarta dan sejumlah daerah lain yang dirilis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Oktober 2025 menjadi peringatan serius bagi kondisi lingkungan di Indonesia.
Fenomena ini kembali menegaskan pentingnya pembenahan sistem pengelolaan sampah, terutama sampah plastik, dari hulu hingga hilir.
Pakar lingkungan dari Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof Dr Arseto Yekti Bagastyo ST MT MPhil, menilai hujan mikroplastik merupakan tanda meningkatnya peredaran partikel plastik berukuran sangat kecil di udara.
Menurutnya, mikroplastik yang terbawa hujan terjadi melalui proses atmospheric deposition, yaitu jatuhnya partikel pencemar dari atmosfer ke permukaan bumi.
“Mikroplastik di air hujan menunjukkan bahwa polutan plastik sudah menyebar luas di udara dan berpotensi masuk ke seluruh ekosistem,” jelasnya.
Arseto memaparkan bahwa mikroplastik sekunder berasal dari degradasi sampah plastik berukuran besar atau makroplastik yang terurai menjadi partikel di bawah 5 milimeter.
Proses penguraian ini dipercepat oleh paparan panas, sinar ultraviolet matahari, angin, perubahan cuaca ekstrem, serta aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan.
Partikel mikroplastik tersebut kemudian terangkat ke udara, terbawa angin, dan turun kembali ke bumi bersama hujan. Siklus ini menciptakan rantai pencemaran yang berkelanjutan.
“Mikroplastik yang turun lewat hujan bisa masuk ke tanah, sungai, dan laut, lalu diserap mikroorganisme serta biota. Pada akhirnya, zat ini bisa terakumulasi dalam tubuh manusia dan berdampak pada kesehatan,” terangnya.
Lebih lanjut, Arseto menyoroti penggunaan plastik yang sudah melekat erat dalam gaya hidup masyarakat. Sayangnya, kebiasaan tersebut belum diiringi dengan sistem pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan.
“Pembatasan timbulan sampah dan penanganannya masih belum berjalan efektif. Ini menjadi akar masalah pencemaran mikroplastik di lingkungan,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa sebagian besar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Indonesia masih menerapkan sistem open dumping atau penimbunan terbuka. Padahal, TPA yang menggunakan metode sanitary landfill atau pengelolaan terkontrol jumlahnya masih belum mencapai 50 persen.
Kondisi tersebut, menurut Arseto, harus menjadi alarm bagi pemerintah daerah untuk segera melakukan reformasi pengelolaan sampah demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Meski biaya operasional yang tinggi dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pemilahan sampah menjadi tantangan utama, Arseto menegaskan bahwa solusi tetap harus dijalankan secara kolaboratif.
“Pengelolaan sampah tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada integrasi dari hulu ke hilir dengan melibatkan pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, fenomena hujan mikroplastik merupakan peringatan keras dari alam agar semua pihak segera berbenah.
Upaya perbaikan pengelolaan sampah juga sejalan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab serta tujuan ke-13 tentang penanganan perubahan iklim.
“Peran aktif setiap pihak harus terus ditingkatkan agar lingkungan tetap lestari dan risiko pencemaran bisa ditekan,” tutupnya. (Sms)
- Penulis: Shinta ms




