Pernah Buat Pemerintah Marah, Sejarah Pahlawan Nasional Pertama Indonesia
- account_circle Diagram Kota
- calendar_month Sen, 10 Nov 2025
- comment 0 komentar

DIAGRAMKOTA.COM – Pengakuan terhadap perjuangan para tokoh yang berkontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia selalu menjadi bagian penting dari upacara Hari Pahlawan. Setiap tahun, pemerintah menetapkan nama-nama baru sebagai pahlawan nasional. Tahun ini, Presiden Prabowo Subianto menetapkan 10 pahlawan baru, termasuk tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Soeharto. Salah satu yang mendapat perhatian adalah Marsinah, seorang buruh yang jasadnya ditemukan pada 8 Mei 1993 silam.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa sosok pertama yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional adalah Abdoel Moeis. Ia bukan hanya seorang tokoh pergerakan nasional, tetapi juga mantan jurnalis dan petani. Perjalanan hidupnya mencerminkan dedikasi terhadap perjuangan rakyat dan kebebasan.
Latar Belakang dan Pendidikan
Abdoel Moeis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Khusus Eropa (ELS) dan melanjutkan studi ke Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Meskipun memiliki latar belakang kedokteran, ia lebih dikenal karena kiprahnya di dunia jurnalistik. Menurut buku Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia Jilid I (2005) oleh Rosihan Anwar, Abdoel Moeis bergabung dengan majalah Bintang Hindia pada tahun 1905 yang dipimpin oleh Abdul Rivai. Kemudian, ia aktif di koran Soeara Merdeka di Bandung dan menjadi bagian dari koran Kaum Muda.
Tulisan-tulisannya di Kaum Muda berhasil membuat pemerintah kolonial Belanda murka. Lewat aktivitasnya di sana, ia berinteraksi dengan banyak tokoh pergerakan nasional seperti Tjokroaminoto dan Ki Hajar Dewantara. Dari sini, ia kemudian mendirikan organisasi yang menentang kekuasaan kolonial Belanda.
Perlawanan terhadap Penjajahan
Menurut buku Hindia Belanda dan Perang Dunia (2014), aktivitas politik Abdoel Moeis membuatnya sering dipenjara, terutama setelah memimpin demonstrasi besar-besaran membela kaum buruh yang dilarang oleh pemerintah kolonial. Meski mengalami penindasan, ia tetap berjuang untuk hak-hak rakyat dan keadilan.
Setelah dilarang berpolitik, Abdoel Moeis memutuskan untuk berhenti dari dunia aktivisme. Ia beralih menjadi petani dan penulis novel. Pada tahun 1928, ia menerbitkan karya perdananya berjudul Salah Asuhan, yang menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia di masa penjajahan.
Penghargaan Sebagai Pahlawan Nasional
Ia tetap menekuni dunia ini hingga wafat pada tahun 1959 di Bandung, Jawa Barat. Pada tahun yang sama, pemerintah mulai menggagas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (1999), Soekarno ingin mengembalikan nama baik perjuangan tokoh-tokoh yang menentang penjajahan Belanda dan menumbuhkan semangat nasionalisme masyarakat.
Beragam cara dilakukan untuk menghormati para pejuang, mulai dari penulisan biografi, pembuatan poster, hingga pemberian gelar Pahlawan Nasional. Untuk gelar tersebut, dan karena ada tokoh besar yang wafat, Soekarno menganugerahi Abdoel Moeis sebagai Pahlawan Nasional pertama Indonesia.
Peran Abdoel Moeis dalam Sejarah Indonesia
Peran Abdoel Moeis dalam sejarah Indonesia tidak hanya terbatas pada perjuangan politik, tetapi juga dalam bidang jurnalistik dan sastra. Tulisan-tulisannya memberikan wawasan tentang kehidupan masyarakat di bawah penjajahan, serta membangkitkan kesadaran akan pentingnya kebebasan dan hak asasi manusia.
Kiprahnya sebagai jurnalis dan penulis memperkaya wacana nasional, sementara kontribusinya sebagai aktivis politik menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Gelar Pahlawan Nasional yang dianugerahkan kepadanya adalah penghargaan atas dedikasi dan pengorbanan yang tak tergantikan.
Peringatan dan Nilai Kehidupan
Abdoel Moeis adalah contoh nyata bahwa perjuangan untuk keadilan dan kebebasan bisa datang dari berbagai latar belakang. Dari seorang dokter yang beralih menjadi jurnalis, hingga seorang aktivis yang akhirnya menjadi petani, ia membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil.
Nilai-nilai yang dibawanya, seperti keberanian, kejujuran, dan kepedulian terhadap sesama, masih relevan hingga hari ini. Ia menjadi salah satu ikon perjuangan bangsa yang layak diingat dan diteladani. ***





Saat ini belum ada komentar